"Sayang ... ngapain?" Tiba-tiba Loly memeluk pinggang Lanang dari belakang. Membuat Lanang berjengit kaget, hampir menumpahkan air panas yang sedang dia tuang dalam cangkir berisi kopi."Apa-apaan ini? Lepaskan!" Lanang melepas lilitan tangan Loly dengan paksa. Wanita cantik itu terkejut dengan reaksi yang diberikan Lanang. "Sudah ku bilang berapa kali, aku nggak suka sikapmu sok mesra begitu. Aku harus ngomong pakai bahasa apa lagi, supaya kamu ngerti?"
"Kamu kenapa sih sayang? Kan disini nggak ada orang. Cuma kita berdua aja."
"Banyak orang, atau cuma lagi berdua. Aku tetap nggak suka kamu begitu."
"Loh. Kata Pram kamu cuma di depan umum aja nggak suka kalo kita mesra. Terus, kapan dong kita bisa mesra-mesraan lagi kayak di Malang?"
"Pram?" Tanya Lanang heran. Loly mengangguk. "Mesra-mesraan di Malang?" Loly mengangguk untuk kedua kali di iringi senyuman. "Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan." Senyum Loly bagai mawar yang merekah lalu layu seketika.
"Jangan bilang kamu juga lupa sama apa yang kamu lakukan malam itu." Mata Loly menyelidik.
"Tunggu. Tunggu." Lanang berusaha menenangkan diri sendiri. "Aku benar-benar nggak ngerti kamu ngomong apa. Memangnya apa yang ku lakukakn selama di Malang di malam yang kamu sebut itu?"
Loly bagai tersengat listrik mendengar kalimat Lanang. Apalagi melihat wajah polos lelaki itu yang seolah tidak tahu apa-apa.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Lanang."Aku nggak pernah nyangka kalo kamu sebejat ini. Dari luarnya sok alim, lugu, polos, baik. Padahal lebih bangsat dari preman di jalan. Setelah kamu cicipi tubuhku, sekarang seolah kamu nggak kenal siapa aku. Aku benci kamu!"
Air mata Loly tumpah, wajahnya memerah. Dia mendorong pintu pantry dengan keras lalu berlari menuju kamar mandi wanita. Sedangkan Lanang masih mematung, benar-benar tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Dia mengelus pipi yang terasa panas.
Dia tahu siapa yang bisa menjelaskan ini. Pram!
Lanang segera mendatangi kubikal Pram, kosong. Dia baru ingat bahwa hari ini Pram tidak masuk kerja dengan alasan tidak enak badan.
"Kampret!" Umpat Lanang sambil memukul meja Pram. Beberapa orang sempat melihat heran dengan kelakuannya. Mereka tahu bahwa ada yang tidak beres dengan sikap Lanang yang mukanya nampak diselimuti amarah. Benar-benar bukan seperti Lanang yang biasanya terlihat tenang.
***
"Setiap aku lewat depan warungmu, aku malah benar-benar nggak tahu kalo itu kamu, Ra. Tapi familiar dengan rasa pastel yang sering dibawakan Idan."
"Oya?"
"Ya. Aku inget-inget terus, pernah makan pastel itu dimana? Sampai suatu hari Yana telepon, bahas saat jaman SMA kerja kelompok di rumah kamu. Nah, aku baru inget kalo pernah makan pastel seenak itu disana." Antusias Andri.
"Yana temen kita sekelas?" Andri mengangguk. "IPS dua, kan?"
"Iya, Yana yang..." Andri menggembungkan mulutnya. Nara tertawa, sosok Yana yang gendut langsung berkelebat dalam memori otaknya.
"Masih ya dia, sampe sekarang?" Nara tergelitik ingin tahu kabar teman-teman SMAnya dulu.
"Masih bulet, maksudmu?" Nara mengangguk sambil menahan tawa. "Kalo Yana sih, lemaknya abadi." Jawaban Andri membuat tawa Nara kembali pecah.
"Kamu tetep aja dari dulu. Suka ngaco." Seorang Andri dalam ingatan Nara adalah anak lelaki pendek yang berkacamata. Pintar Akuntansi, pecinta pelajaran olahraga dan pandai meramaikan kelas dengan banyolan-banyolannya. Hampir tidak pernah, Nara melihat Andri remaja bicara serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biduk Terbelah
Romance(SELESAI) Lanang; "Aku tahu, dari sekian banyak penderitaan yang telah kamu alami selama kita bersama, memaafkanku adalah hal tersakit bagimu. Walau begitu, sampai kapanpun aku akan tetap memohon satu kesempatan lagi karena aku begitu mencintaimu" N...