5. Salah Sangka

6.1K 556 29
                                    

"Kenapa lo gak minta anterin Loly aja? Dia pasti dengan senang hati nganterin lo kemana aja. Bahkan ke Pluto sekalipun." Dua lelaki sebaya berjalan beriringan menyusuri kota. Turut berjubel dalam keramaian pejalan kaki di trotoar.

Hari Minggu dan tanggal muda, selalu menjadi penyebab ramainya kota, dipenuhi oleh wajah-wajah sumringah karena sedang berkantong tebal. Mereka tidak peduli pada cuaca siang ini yang begitu terik dan debu di jalanan yang menggulung tersapu angin. Mereka tetap bergairah masuk dari toko satu ke toko yang lain.

"Dan kenapa kamu harus bahas dia terus?"

"Ya karena dia emang layak untuk dibahas. Cuma cowok yang otaknya gesrek, yang nggak mau bahas dia." Sindir Pram.

"Aku, maksudmu?" Lanang berjalan dua langkah di depan. Pram segera menyusul untuk menjajari.

"Kalo lo ngerasa, berarti iya." Jawab Pram dengan intonasi yang jelas dan lugas.

"Kalo nggak ikhlas anterin. Pulang sana." Lanang tidak membantah, pun tidak mengiyakan tuduhan sahabatnya. Dia memilih mengusir Pram --seperti biasa. "Dari tadi ngomel kayak emak-emak."

"Masalahnya, sejak dulu tiap nganter lo cari barang, selalu bikin kaki gue gempor. Cuma mau cari tas sebiji aja, udah lima toko kita masukin. Tetep aja belom dapet."

"Ya aku harus cari yang cocok."

"Tapi lo kelewatan Nang. Nyokap gue aja kalo shopping gak segitu rempongnya. Lo mah parah!" Gerutu Pram kesal.

"Nggak usah cerewet. Pulang sana kalo nggak ikhlas."

"Iya. Iya. Gue ikhlas. Walo terpaksa. Apa sih yang gak buat lo?" Lanang membaca setiap plang toko yang berjajar rapi di daerah itu. Dia berharap bisa menemukan toko tas sekali lagi. "Gue selalu ada saat lo senang, walo banyakan pas susah." Pram masih mengoceh, tapi Lanang tidak menghiraukan. Langkah kakinya masih berderap ringan.

Lanang menoleh ke seberang jalan. Dia mengedarkan pandangan untuk mencari toko yang mungkim bisa dimasuki ke enam kalinya. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya menyala terang, seperti mendapatkan sesuatu yang ia cari.

"Tunggu sini." Lanang menepuk pundak Pram dengan keras.

"Mau kemana lo?" Pertanyaan Pram tak terjawab, karena tubuh Lanang sudah jauh meninggalkannya.

Lanang seperti kerasukan setan. Dia berlari sekencang mungkin dan menyibak kasar kerumunan orang yang menghalangi lajunya. Hanya kata maaf yang berkali-kali dia teriakkan saat beberapa orang memaki karena mereka hampir roboh oleh ulahnya.

"Kampret tuh bocah!" Umpat Pram sendiri. Lalu dia mengikuti jejak Lanang berlari secepat yang dia bisa, dengan perut tambunnya. Bagaimanapun dia penasaran sekaligus cemas pada sahabatnya. Kenapa tiba-tiba Lanang bagai kerasukan setan seperti itu?

Lanang menyeberang jalan dengan sembrono. Dia terlalu cepat melintas di depan mobil-mobil yang lewat sambil memberikan kode stop dengan telapak tangan. Tentu saja itu membuat beberapa pengemudi melongokkan kepala dari jendela dan berteriak memaki Lanang dengan kata-kata kasar.

Lanang mendengar semua umpatan mereka, tapi dia tidak peduli. Dia terus berlari. Matanya fokus membidik sosok yang dia kejar. Seorang perempuan berrambut hitam lurus sebahu, berperawakan langsing dengan kulit kuning langsat.

Perempuan itu tidak sendiri. Tangan kanannya menggandeng seorang anak perempuan dengan rambut bergelombang sepunggung dan berbando merah muda. Postur mereka berdua dari belakang, mengingatkan Lanang pada orang yang sangat ia rindukan.

"Nara ... tunggu!" Teriak Lanang ketika jaraknya sudah semakin dekat dengan perempuan berdress pendek warna magenta itu. Tapi perempuan itu tidak sedikitpun menoleh. Lanang mempercepat langkahnya dan makin kasar menyibak orang-orang yang berjalan di depannya.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang