15. Persaudaraan

4.2K 464 64
                                    


Happy Reading.

"Apa itu Ra?" Tiwuk buru-buru menyudahi kegiatan mancing di kedua kolam hidung peseknya, begitu melihat Nara memasuki ruang tengah dengan menenteng beberapa kantong kresek berlogo swalayan terkenal di Malang. Tiwuk menghapus napak tilas di jari telunjuk dengan menggosok-gosok pucuk daster yang ia kenakan. Sejumput hasil pancingan kini sudah berpindah lokasi, dari jari ke serat kain katun; upil.

"Titipan dari Andri, buat kamu." Nara menggeletakkan empat kantong itu di lantai ruang tengah, tepat di sebelah sofa yang diduduki Tiwuk. "Kakimu Wuk!" Nara melotot ke arah sepasang kaki yang sedang selonjor dengan anggun, di atas meja. Nara paling tidak suka melihat Tiwuk melakukan itu. Dosa besar. Melanggar kodrat dan meludahi tata krama sebagai perempuan Jawa. Sama rendahnya dengan bertelanjang dada keliling pasar. Jijik. Malu. Tidak bermartabat. Apalagi jika Nayla tahu, lalu ketularan. Bumi Nara dipastikan gonjang-ganjing.

"Nayla wes tidur. Ku kelonin tadi di kamar. Malam ini mau bobo sama Bude, katanya." Tiwuk segera menurunkan derajat kedua kakinya ke lantai. Mendarat tidak mulus, karena yang kiri sempat nyangkut tepian meja.

"Sana-an." Tiwuk menurut, dia menggeser bokong untuk memberi ruang pada Nara.

"Opo seh ini?" Tiwuk penasaran. Dia membungkuk untuk mengintip isi salah satu kantong.

"Banyak. Beras, minyak, sabun cuci baju, terigu. Dan lain-lain."

"Itu sih buat kamu, aku terigu buat opo? bedak? "

"Nggak. Andri bilang buat Tiwuk kok."

"Mosok?"

"Iya, kalo nggak percaya, telepon orangnya. Serius." Jari Nara membentuk huruf V. Lalu mengulum senyum tipis.

"Aneh." Curiga Tiwuk. Dada Nara seperti ditendang. Air liurnya mendadak terasa pahit pekat. Menyiksa tenggorokan saat ditelan. Dia takut drama yang sedang dibangun, ketahuan Tiwuk. Masalah dengan Andri, biarlah dia pendam sendiri. Sejujurnya rasa kecewa menggenangi hatinya saat ini, tapi mengungkapkan pada Tiwuk hanya akan melukai hati perempuan polos itu. Tiwuk terlalu baik untuk menerima kata-kata sakit yang Nara simpan. Biarlah, besok atau lusa, luka itu akan sembuh seiring waktu.

"Film nggak ada yang bagus, Wuk?" Nara meraih remote TV di samping Tiwuk. Memencet tombol secara acak.

"Kok diganti sih? Itu drama Turki aku tungguin sejak tadi." Protes Tiwuk.

"Jelek, ah." Nara masih terus memencet tombol remote. Warna-warni layar TV terus berganti, tidak beraturan. Sebentar berhenti di channel nomer lima, sekian detik di channel nomer sebelas, sebentar serius nonton acara sitkom. Lalu tertawa tidak jelas di berita pemakaman massal korban gempa bumi. Terakhir, berhenti di channel yang sedang menayangkan talkshow live. MC sedang menanyai dua orang artis sebagai narasumber, tentang makna persahabatan bagi mereka. Nafas Nara tersendat. Lalu terbatuk-batuk tanpa sebab.

"Aku mau tidur. Uhuk...uhuk..." Nara membanting remote ke sofa dengan sedikit kasar. Tiwuk memperhatikan anomali perilaku yang disandang Nara. Dia yakin bahwa ada yang tidak beres dengan perempuan itu.

Nara hampir bangkit, saat Tiwuk mencekal lengan Nara dengan energi hangat.

"Ra, kamu kenapa? Ada masalah?"

Jangan Wuk, jangan tanya kenapa. Aku nggak mau marah sama kamu, walau bagiku, kesalahanmu cukup fatal. Karena ini menyangkut harga diri. Batin Nara.

"Hem? Kenapa? Kenapa apanya yang kenapa?" Nara mengangkat kedua alis, sebagai tameng untuk mengelabui Tiwuk.

"Ya kamu kenapa? seperti ada masalah."

"Masalah apa? Nggak. Nggak ada apa-apa kok." Nara menggeleng berkali-kali.

"Ra..."

"Beneran Wuk..."

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang