Justin sudah lama menutup teleponnya, pembicaraan mereka tadi berakhir manis seperti malam - malam sebelumnya, hanya saja malam ini Justin yang tidur lebih awal. Sementara Becca masih terjaga, matanya seolah tidak menghiraukan ketukan jam yang menunjukkan hampir jam 12 malam. Ia masih duduk di dekat perapian kamarnya, hujan yang tertunda tadi sore seolah membalas dendamnya malam ini. Diluar hujan turun menghempas - hempas permukaan bumi tanpa ampun, angin dingin menusuk tulang berhembus perlahan, membuat Becca merasa betah berlama - lama di dekat perapian bergaya Eropa itu. Pikirannya benar - benar kalut sekarang, perihal yang rencananya akan dibicarakannya dengan Justin ditelepon tadi urung untuk di ungkapnya karena dia fikir bukan saat yang tepat untuk membicarakannya sekarang, Justin sudah terlalu lelah untuk memikirkan masalahnya sendiri, masalah yang jauh lebih penting ketimbang dirinya. Ia teringat kejadian tadi siang,
FLASHBACK...
Becca berdiri tidak tenang di salah satu sudut gedung sekolah, tangannya di lipat di dada. Entah sudah berapa puluh kali ia menghela nafas. Matanya tak beralih dari koridor sekolah yang sudah cukup lengang karena memang pelajaran sudah berakhir kurang lebih 2 jam yang lalu. Ia bahkan juga melihat Justin melangkah keluar dari kantor Mrs. Kazeline, pria itu pasti berulah lagi tadi. Dia tidak berusaha untuk mengejar Justin yang pergi kearah yang berlawanan, karena bukan Justin yang ia tunggu sekarang. Becca hanya melihat punggung Justin sambil tersenyum sampai seseorang mengejutkannya dari belakang, orang itu memegang pundak kanannya, Becca refleks berbalik.
Lelaki tinggi itu berambut emas bergelombang, mata hijaunya semakin terang di terpa cahaya, ia hanya beberapa inchi lebih tinggi dari pada Justin, bibirnya melengkungkan sebuah senyuman ketika ia bertemu mata dengan Becca.
"Hi, Rebbeca Sawyer" Suaranya mengalir lembut tanpa riak dari tenggorokannya.
Becca menatap tajam kearah lelaki yang menyebutkan namanya itu, matanya seolah tertutupi oleh rasa benci yang terpancar dari wajahnya.
"tidak usah bersikap manis, Rowley, lagipula aku tidak mau berdiri lama - lama disini dengan orang seperti dirimu." Nada suaranya meninggi beberapa oktaf setiap kata.
"whoa, easy, gurl... aku fikir saat ini kita sudah berdamai" Rowley, lelaki itu bahkan tersenyum menggoda menanggapi sikap kasar Becca.
Becca membuang muka berusaha mengontrol emosinya, berusaha membuang perasaan yang memang telah lama hilang. Becca mengatur nafasnya mencoba melihat kearah Rowley.
"Tidak usah terlalu banyak bicara, sekarang kembalikan liontinku" ujarnya masih dengan nada kasar.
Rowley terkekeh, Ia merogoh kantongnya mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Benda yang sekarang berada di tangannya itu berkilauan di terpa cahaya, di kalung berliontin bentuk tuts piano itu tersemat sebuah black diamond yang membuatnya semakin menawan.
"Maksud mu ini? Setelah aku fikir - fikir lagi, aku tidak akan mengembalikannya sekarang karena aku masih terlalu cemburu melihat kebersamaan mu dengan Justin" ujar Rowley dengan nada lembut yang bisa membuat para wanita bertunduk.
"Damn it, Rowley! Kembalikan!" Ujar Becca sambil berusaha merebut liontin itu dari tangan Rowley. Tangannya kalah gesit dengan Rowley yang lebih dulu menarik tangannya tinggi - tinggi, gerakan tiba - tiba Rowley itu membuat Becca terhuyung tidak mampu mengendalikan arah gerakan badannya hingga hal tersebut memberikan Rowley kesempatan untuk memeluk pinggangnya, ia melingkarkan tangannya tepat di tulang pinggul Becca agar perempuan itu tidak terjatuh.
"Shit, don't touch me!" Becca menyikut Rowley tepat di susunan tulang rusuknya, hingga lelaki itu meringis tertahan sambil memegang perutnya.
"Aku baru ingat kau gadis yang kuat" Ujarnya berbisik di telinga Becca.
Becca memutar bola matanya, ia kemudian berjalan menjauhi Rowley. Perdebatan itu tidak ada gunanya, seperti sebelumnya ia bahkan tidak bisa mengambil kembali liontin miliknya dari tangan Rowley. Liontin itu dari Justin, ia memberikannya pada Becca di ulang tahunnya yang ke - 17 oleh sebab itu liontin itu benar - benar berharga untuknya. 3 bulan yang lalu Rowley diam - diam mengambil Liontin itu ketika Becca melepaskannya pada saat mereka sedang mengikuti pelajaran berenang. Rowley menyelinap masuk keruang ganti wanita dan berhasil mencuri liontin miliknya.
"we make a deal, dan aku berjanji akan mengembalikan Liontin ini" Teriak Rowley.
Refleks Becca berhenti berjalan namun ia tidak berbalik, hanya berdiri seperti telah dikutuk menjadi patung.
Rowley berjalan mendekati Becca dan berhenti di hadapannya, kembali ia memperlihatkan cengiran yang sangat memuakkan di mata Becca. Ingin rasanya ia menonjok wajah Roewley yang menyebalkan baginya itu.
"what do you want from me?" Ujarnya dengan nada sama sekali tidak ramah. Ia bahkan tidak menatap kearah Rowley.
Rowley menaikkan alis kirinya dan melipat tangannya di dada. "A date!" Ujarnya gamblang, kata - kata itu seolah hanyut tak tercela dari bibirnya.
Sontak Becca mendelik ke arahnya, menatap Rowley muak. Ia tahu Rowley akan mempermainkannya karena ini. Ia tahu sifat Rowley yang suka mempermainkan orang.
"Shit, In your dream" Becca menyentak tangannya agar ia dapat menyingkirkan tubuh Rowley dari hadapannya dan ia pun mulai berjalan lagi.
Damn! Tidak ada gunanya membuat perjanjian dengan anak brengsek seperti itu gumamnya dalam hati.
"Aku tunggu besok di Jess Braillier's coffe sepulang sekolah, kalau kau tidak datang, berarti kau tidak benar - benar menginginkan benda ini" teriak Rowley dari belakang, Becca semakin geram dan mempercepat langkahnya ia tidak mau berlama - lama terlibat pembicaraan dengan mahluk berengsek seperti Rowley.
In your dream! Aku tidak akan datang! Fuck. Makinya dalam hati.
Becca belum berterus terang kepada Justin tentang ini semua, karena setiap kali ia akan mengatakannya setiap kali pula itu bukan waktu yang tepat. Becca juga khawatir jika ia berterus terang, Justin pasti akan terlibat perkelahian dengan Rowley, ia tidak mau melihat kekasihnya itu terlibat masalah dengan orang seperti Rowley. Rowley adalah sejenis mimpi buruk bagi para guru, seorang troublemaker yang hampir selalu ada di setiap sekolah dan di Mckenna High School, Rowley lah orangnya. Selalu membolos di hampir setiap mata pelajaran yang tidak disukainya, berkelahi, merusak fasilitas sekolah, dan tentu saja menyandang predikat permanen untuk peringkat kelas terbawah. Naik kelas setiap tahun adalah suatu mukjizat yang diberikan para guru padanya, mungkin karena mereka sudah terlalu bosan mengurusi murid seperti Rowley, oleh sebab itu mereka berusaha untuk sesegera mungkin menyingkirkannya dari sekolah.
Dan Rowley adalah mimpi buruk terbesar bagi Becca, Rowley seolah menyeretnya masuk kedalam kehidupannya yang menyebalkan. Becca membenamkan kepalanya di kedua lututnya yang dilipat. Ia mengerang frustasi.
Damn! Rowley I hate you. So damn hate.***
Matahari tak tampak begitu terik ketika gerbang sekolah dibuka, para siswa dapat keluar dari penderitaan. Yeah, penderitaan. Sekolah selalu saja menyebalkan setiap waktunya, saat menyenangkan hanya ketika kita bisa bersenang - senang dengan teman - teman saat break time dan melakukan kejahilan di tengah - tengah jam kosong.
Justin masih berdiri di depan kap mobilnya, kepalanya bergantian mengarah ke kiri dan ke kanan. Begitu tampak jika ia sedang menunggu seseorang. Dia terus menghela nafas ketika orang yang lewat di hadapannya bukan orang yang ditunggu.
Gosh, dimana gadis itu? Gumamnya dalam hati seraya melihat jam tangannya dengan frustasi.
Ia merogoh kantong celananya dan menemukan i-phone nya disana. Ia segera menekan sebuah nomor yang sudah sangat diingatnya, seperti telah terpatri sangat kokoh di dalam otaknya. Ia baru saja akan mendekatkan i-phone itu di telinganya ketika ia melihat sosok yang ditunggunya setengah berlari keluar dari kerumunan. Justin menurunkan tangannya dan mengembalikan i-phone nya ke dalam kantong.
"Gosh, dari mana saja kau? Aku hampir kering disini." Keluh Justin mengelap dahinya yang sebenarnya tidak terlalu berkeringat. Ia hanya ingin berlagak saja, lelaki itu ingin membuat kekasihnya itu merasa bersalah saja.
"maafkan aku, huhh.... Aku harus membantu Mr. Haffley membereskan setumpukkan buku miliknya." Ujar Becca. ia masih mengatur nafasnya yang tidak sinkron karena ia berlari.
"Sudahlah, ayo kita pulang" Justin menggandeng tangan Becca menuju ke sisi kanan mobilnya. Ia tidak mau melihat gadisyang dicintainya itu mati meleleh karena dehidrasi.
"Emm Justin..." Becca berhenti berjalan dan dengan refleks Justin juga behenti dan menghadap padanya.
"Yes"
Becca meneguk liur dan berkata "I'm sorry, aku.....TO BE CONTINUED.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Romance(COMPLETED) Sungguh menggelikan ketika cinta terasa seperti sihir, dan semua orang menyebutnya takdir. Saat takdir berubah menjadi sebuah humor, orang - orang akan menyebutnya kejutan yang menyenangkan - Justin Sparks Awalnya kehidupan benar-benar...