"KAU MENCOBA MEMBUNUH AKU YA?" Justin terbangun dari pembaringannya setelah hampir 2 jam pingsan. Ketika ia terbangun, ia mendapati dirinya sudah berada di VIP Room di sebuah rumah sakit. Justin memegang kepalanya yang masih terasa berdenyut - denyut, ia ingat tadi kepalanya terbentur keras di lantai marmer, dan hal terakhir yang dilihatnya adalah wajah Molly. setelah itu ia tidak sadarkan diri dan tidak ingat apa - apa lagi.
Dan ketika terbangun, wajah Molly pula lah yang menjadi hal pertama yang dilihatnya. Wajah pucat ketakutan itu menyeringai canggung pada Justin.
"I didn't mean it!" Molly menggigit bibirnya, merasa bersalah tapi ia masih enggan untuk meminta maaf dihadapan Justin, bahkan Tan dan Anna pun juga ada disana, berdiri di samping Justin. Bisa - bisa Tan dan Anna menertawakannya jika ia terlihat begitu menyesal dan meminta maaf.
"huh, bahkan kau tidak meminta maaf! Dasar gadis kurang ajar!" Justin mendengus kesal. Ia menyandarkan kepalanya yang masih terasa sakit.
"Aku tidak bermaksud melakukannya, jadi buat apa aku harus minta maaf! Lagi pula dokter bilangkan itu cuma gegar otak ringan! Jangan terlalu berlebihan!" Molly menghempaskan pantatnya di atas sebuah kursi kosong yang memang disediakan khusus untuk pengunjung.
"GEGAR OTAK? Kau dengar itu, Tan? Dia bilang aku CUMA gegar otak? FUCK!"
Justin menggeram kemudian meringis karena kepalanya bertambah sakit mendengar perkataan Molly barusan. Gadis itu dapat dengan mudah membuatnya merasa begitu kesal sepanjang hari. Ia bahkan tidak mengucapkan kata maaf karena telah membuat Justin celaka. Ini sudah kedua kalinya Molly membuatnya celaka, yang pertama adalah insiden paper bag yang membuat Justin harus rela mengompresi selangkangannya selama berhari - hari. Justin menatap kearah Molly yang bahkan tampak tidak merasa bersalah.
"Kau memang merencanakannya kan? Kau telah membuat rencana untuk membunuh aku kan, penyihir?"
Molly menghela nafas dengan keras. Ia berdiri dan maju menuju tempat tidur yang ditempati Justin. "Kalau aku memang merencanakannya dari awal, seharusnya aku tinggalkan saja kau di ruangan gelap itu sendirian dan dimakan tikus, aku tidak usah repot - repot kesana kemari minta pertolongan!" Molly menghentakkan sebelah kakinya dan pergi dari sana dengan langkah lebar.
"Lihatlah, dia bahkan punya sifat yang benar - benar memuakkan! Shit, ahwww..." Justin kembali meringis karena sakit dikepalanya kembali menyerang. Ia memandang kepada Tan yang dari tadi hanya diam berdiri disampingnya mendengar perkelahian mereka tadi. Disampingnya berdiri Anna dengan wajah bodohnya.
"Hey kau! Kau tidak ikut pergi bersama temanmu yang gila itu?"
Anna menggeleng dan duduk di pinggiran tempat tidur. "Sepertinya dia marah sekali, dan disaat seperti ini dia tidak ingin diganggu." Anna memain - mainkan ujung sprei yang berada didekatnya.
"Kau seharusnya melihat ekspresi Molly saat berlari meminta bantuan pada kami." Kali ini Tan yang dari tadi hanya diam mulai angkat bicara. Ia kemudian mendekatkan kursi yang tadi di duduki Molly kearahnya dan duduk disana. Kakinya sudah terasa penat karena sejak tadi berdiri.
Justin diam saja dan mengeryitkan dahinya. entah terlalu lelah untuk berbicara atau ia hanya malas melakukannya. Jadi ia hanya duduk diam menunggu Tan melanjutkan ceritanya.
"Wajahnya benar - benar ketakutan dan panik, dia bilang kami harus bergegas menolongmu karena kau sedang sekarat! Ternyata dia hanya melebih - lebihkan, dokter bilang kau tidak apa - apa."
"Aku tidak pernah melihat Molly sepanik itu sebelumnya. Selama kami berteman, baru kali itu aku melihat Molly ketakutan. Dia bahkan tidak berhenti mencemaskanmu sampai akhirnya kau siuman." Anna tersenyum pada Justin yang tampak terkejut dengan cerita mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Romance(COMPLETED) Sungguh menggelikan ketika cinta terasa seperti sihir, dan semua orang menyebutnya takdir. Saat takdir berubah menjadi sebuah humor, orang - orang akan menyebutnya kejutan yang menyenangkan - Justin Sparks Awalnya kehidupan benar-benar...