Molly menutup kedua bola mata hijaunya dan...
"Ada rumput diatas kepalamu."
Wajah Molly merah padam tak karuan, seketika ia kikuk dan melenguh lemas. Ternyata Justin mendekatkan tubuhnya bukan karena ingin menciumnya, melainkan karena ia ingin memungut rumput yang mengotori kepala Molly. molly benar – benar malu dengan apa yang telah difikirkannya, ternyata nalurinya mengarung terlalu jauh. Seketika rohnya yang tadi melayang di atas awan, terjun bebas sampai ke lapisan tanah ke tujuh. Dasar bodoh, bisa – bisanya aku berfikir menjijikan seperti itu. Ya, mungkin aku sudah benar – benar kehilangan akal sehatku. Molly memaki dirinya sendiri dalam hati, rasanya sekarang ia ingin segera menceburkan dirinya dan tenggelam di dasar danau dan tidak kembali kepermukaan.
"Kenapa wajahmu memerah? Apa kau masih mabuk?" Justin mengeryitkan keningnya melihat wajah Molly yang merah masak seperti buah persik yang tumbuh di kedua belah pipi gadis itu.
"Me...merah? Ti...tidak. Aku baik – baik saja." Molly meneguk liur, nada bicaranya terdengar sangat kikuk. Ia membuang muka kearah lain agar pria dihadapannya itu tidak dapat melihat ekspresinya sekarang.
Justin mengangkat bahu dan melirik arloji di pergelangan tangannya, ia menghela nafas ketika melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Ia berani bertaruh jika saat ia pulang nanti momnya akan langsung membunuhnya. Ia tidak dapat menghubungi dan mengabari wanita itu karena I – phonenya mati, ia lupa untuk mencharge ponsel itu.
"Sepertinya hari ini kita tidak akan sempat masuk kelas ekonomi." Justin menoleh pada Molly dan menunjuk – nunjuk kearah arlojinya.
Molly, gadis yang diajak bicara itu sedang melamun dan terhenyak ketika Justin berbicara padanya. "Sudahlah, lagi pula aku tidak suka harus bertemu lagi dengan Mr. Robinson." Molly merengut dan mengibaskan rambut cokelatnya. Gadis itu kemudian merapikan beberapa helai rambut yang terlihat berantakan di sisi kanan dan kirinya.
Justin mendengus dan memutar kedua bola matanya. Ish... gadis ini mulai lagi. "Em, tunggu dulu, ngomong – ngomong soal Mr. Robinson. Oh shit, deadline tugas kita tinggal 1 minggu lagi." Justin meringis dan menggaruk – garuk kepalanya frustasi. Bagaimana mungkin ia melupakan tugas penting itu, mereka bahkan belum memulai untuk mengerjakan sama sekali.
Molly membuka mulutnya lebar – lebar dan menepuk dahinya, sepertinya hal yang sama juga terjadi pada gadis itu, ia melupakan tugas itu. "Holly Shit, mengapa waktu berjalan begitu cepat? Kita bahkan belum mengerjakan apapun, bagaimana ini? Justin! Fikirkan sesuatu!" Molly melotot pada Justin, nada bicaranya jelas sekali menunjukkan sifat otoriternya.
Justin balas melotot pada gadis itu "gosh, gadis ini menyebalkan sekali. Kita belum mengerjakan sama sekali itu karena kau, kau ingat? Kau terus menunda – nunda pekerjaan kita. Sekarang lihat, waktu deadline sudah dekat kita bahkan mengerjakan sehelai benang pun"
"WHAT? Karena aku? Excuse me, itu karena kau benar – benar menyebalkan dan membuat aku muak jika harus bertemu denganmu." Molly melipat tangannya didada, ia mengalihkan pandangannya membelakangi Justin. Berani – beraninya pria itu menuduhnya bersalah atas semua ini, ia tidak terima jika harus disalahkan.
"Ya sudah, jika kau muak melihat wajahku, kerjakan saja sendiri tugasnya, jadi kau tidak perlu repot – repot bertemu denganku lagi, kan?" Justin benar – benar tidak tahan dengan sikap otoriter yang mendarah daging pada gadis dihadapannya ini. itu benar – benar menyebalkan, seperti kutil di kulit yang harus dicongkel.
"WHOA WHOA! Bagaimana bisa kau melimpahkan semua tanggung jawab bersama pada aku? Kau mau aku laporkan pada Mr. Robinson?" Ancam Molly sambil mengarahkan telunjuknya tepat di depan hidung Justin.
Justin menepis telunjuk Molly dan balas mengancam. "Laporkan saja, dan aku akan balik melaporkanmu, gadis gila. Sudahlah aku mau pulang." Justin bangkit dan berjalan menuju kearah mobilnya diparkirkan.
Molly terperanjat melihat Justin yang benar – benar berani menantangnya. Ia pun berusaha berdiri dengan susah payah, menanggalkan silletoes yang menghiasi kakinya agar ia dapat dengan mudah berjalan cepat membuntuti Justin. "Gosh, sialan ini, mau kemana kau? Kalau kau pulang bagaimana aku pulang?"
Justin terus berjalan dan bahkan tidak menoleh kearah Molly yang kesusahan berjalan di belakangnya. Ia menyeringai licik. "Pulang saja sendiri. kendarai kesombonganmu dan suruh ia mengantarkanmu kerumah."
Molly melotot mendengar perkataan Justin, pria itu sekarang sudah berada dalam mobilnya dan bahkan telah menyalakan mesinnya. "Gosh! Bajingan ini, mau kemana kau JUSTIN! Jangan tinggalkan aku, dasar lelaki brengsek ini! Heeeeeeey!" gadis itu berlari kecil agar ia dapat cepat sampai kearah mobil Justin yang sudah hampir berjalan itu.
"HEY JUSTIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN!"
***
Molly menarik baju Justin melewati sebuah pintu. Setelah perdebatan panjang yang melelahkan dan negosiasi yang mereka lakukan, akhirnya Justin meu mengantarkan Molly pulang kerumahnya. Pada rencana awal, Justin hanya mengantarkan Molly sampai kedepan pintu rumahnya dan pulang, tapi pada kenyataannya gadis itu terus menarik lengan baju Justin hingga melewati pintu rumahnya, masuk kedalam ruangan besar bernuansa eropa klasik, ruangan itu hampir sama dengan kastil volturi hanya saja dengan perabotan mewah yang modern. Rumah Molly besar, no, it's huge. Lebih besar dari pada mansion keluarga Sparks.
"Mengapa kau mengajak aku masuk sih? Aku mau pulang, penyihir." Justin melangkah dengan terpaksa di belakang Molly, langkahnya benar – benar lambat karena ia memang tidak berniat untuk masuk kedalam rumah itu. Dalam fikirannya ia memikirkan kamarnya yang nyaman dan kasurnya yang sehalus bulu angsa. Pria itu sebenarnya kelelahan, semalaman tubuh Molly menindih tubuhnya, menganggapnya seperti kasur empuk.
"Aku butuh kau untuk menjelaskan semuanya padanya, jika hanya aku, si cerewet itu pasti tidak akan percaya." Molly berbicara sambil terus berjalan, no lebih tepatnya mengendap – endap seperti pencuri yang takut tertangkap. Justin mendengus, apa lagi sih yang akan dilakukan penyihir ini? menjadikannya tumbal?
Molly melirik ke segala arah, mengendap bagaikan tikus got yang telah mencuri sisa - sisa makanan deosebuah sangkar emas "Semoga saja dadku..."
Belum lagi gadis itu menyelesaikan kalimatnya, ia mendengar seseorang berdehem dari balik badan Justin. Molly membeku, begitu pula dengan Justin. Suara deheman itu semenakutkan gergaji mesin dalam film texas chainsaw.
"Molly Collins, dari mana saja kau?" Pria itu berjalan kehadapan Molly dan melipat tangannya didada.
Molly menghela nafas berusaha terlihat setenang mungkin, meskipun sebenarnya ia sudah siap jika dadnya tiba - tiba mengambil sebuah pistol dan meledakkan kepalanya, ok itu terlalu berlebihan, mungkin dadnya hanya akan mematahkan leher atau tangannya. "Um, out"
Molly mengulum bibirnya dan memandang lukisan wanita raksasa yang ada di belakang dadnya, semacam background dalam film horor amerika, mungkin sebentar lagi wanita dalam lukisan itu akan keluar dan mencekik mereka satu persatu. Tapi tidak, pada kenyataannya wanita itu tetap tinggal dan tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.
"Out? Semudah itu kah kau berkata begitu? Aku hampir gila mencoba menghubungimu semalaman, setidaknya jika kau tidak pulang kau bisa memberitahu aku kan, apa jari mu patah? Apa tanganmu hilang? Apa susahnya menelpon untuk mengabari." Tanpa disadarinya, nada bicara Mr. Collins meningkat kata demi kata. Meskipun dalam letupan kemarahannya itu, masih bisa didengar percikan - percikan kekhawatiran dalam perkaannya tersebut.
Molly mendengus, ia sudah menduga akan di recoki oleh mulut cerewet dadnya, jika memang bisa ia akan melepaskan telinganya sebentar dan mengembalikannya saat dadnya sudah selesai menghujaninya dengan nasihat - nasihat yang sudah sangat bosan di dengarnya.
"There's nothing happened dad, tanyakan saja pada dia, dia bersama aku semalaman. I mean, Sudah lah dad, jangan berlebihan. Lagipula aku baik - baik saja"
Mr. Collins menghela nafas, mencoba menekan emosinya. Ia sudah sangat terbiasa dengan sikap kurang ajar putrinya ini, bagaikan beras dan gandum yang dikonsumsinya setiap hari. Ia kemudian menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Menarik nafasnya dalam - dalam sebelum akhirnya berkata dengan pelan namun tajam "sudahlah, sekarang pergi kekamarmu dan bersihkan tubuhmu yang kotor itu."
"Demi tuhan, tadi malam kau bermalam di peternakan atau kandang babi?" Pernyataan itu terlontar dari mulutnya ketika molly melintas melewatinya.
Molly mengerang dan menghentakkan kakinya berjalan menuju tangga dan naik menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Tapi sebelum itu ia melirik pada justin dan berbisik pelan "kau boleh pulang, jika kau bisa melewati mayat pria ini. Dan.... Terima kasih sudah mengantarku."
Justin, pria itu diam seribu bahasa, ia bahkan tidak bisa merasakan keberadaan mulutnya sekarang, terlalu gugup baginya berhadapan dengan pria tinggi berotot banyak itu. Sebenarnya ia benar - benar ingn pergi dari sana, tapi entah mengapa kakinya serasa dipaku dan terpatri di lantai vinyl mengkilap tepat dimana kakinya bertumpu sekarang. Rasanya ada tangan - tangan tak terlihat yang memegangi kakinya, serupa sekali dengan film thriller drag me to hell, di mana pemeran wanitanya di tarik - tarik oleh tangan iblis menuju neraka, hanya saja dalam versi laki - lakinya.
"Who's your name?" Pria itu sekarang melucutinya dengan tatapan sinis yang membunuh. Justin meneguk liur, sudah siap dengan segala kemungkinan paling buruk termasuk di makan hidup - hidup.
"Em... I'm justin"
"Whats your last name?" Ujar pria itu tampak dengan nada arogan nyanyang terdengar jelas. justin menghela nafas, sekarang ia tahu darimana Molly mendapatkan sikap menyebalkan itu, ternyata ia mewarisinya langsung dari pria sombong yang sedang berdiri dihadapannya ini.
Justin meneguk liur dan berkata dengan terbata - bata karena gugup "Bieb... Um... Sparks. Justin Sparks, sir"
Pria itu mengangkat sebelah alisnya dan menatap Justin dari atas sampai bawah. Seperti seorang petugas yang sedang melakukan inspeksi pada tersangka peledakan bom.
"Sparks? Apa hubunganmu dengan Angeline Sparks?"
Justin kembali meneguk liur untuk kesekian kalinya, ia bahkan tidak berani untuk menatap kearah pria itu, terlalu mengerikan baginya, seperti professor Snape di film harry potter.
"S..ss..sshe is my mom, sir"
Pria itu tampak terkejut dan tidak percaya mendengar perkataan Justin, ia kembali mengeryitkan dahinya dan sekali lagi memandangi Justin dari atas sampai kebawah dengan tatapan tajam yang meremehkan. "Benarkah? Jadi kau putra tunggal Angeline? Kau benar - benar tidak mirip dengannya." Tuduhan Mr. Collin seolah menampar - nampar wajahnya berkali - kali.
Justin tersenyum kikuk, "aku lebih mirip dadku"
Pria ini benar - benar mengerikan, seperti singa dari hutan amazon, liar, ganas, dan mematikan. Jika bisa ia akan bersujud di hadapan Molly sekarang juga karena sudah sanggup tinggal bersama pria ini seumur hidupnya. Please, bahkan sebentar saja rasanya Justin ingin lari terbirit - birit menghadapi pria ini. Bagaimana dengan Molly yang setiap hari harus bertemu dan bernaung di rumah yang sama? Jika itu dirinya, ia mungkin akan langsung menggantung dirinya sendiri.
"Charlie? Dia bahkan terlalu muda untuk punya anak seumuran dirimu." Mr. Collin melipat tangannya di dada. Rupanya ia masih belum puas menginterogasi anak lelaki yang telah mencuri putri kecilnya itu semalaman.
Belum sempat justin menjawab pertanyaan Mr. Collins ketika ada suara lain yang datang dan menginterupsi perkataannya.
"Tuan Richard, jangan ganggu anak itu lagi." Seorang lelaki tinggi besar yang memakai pakaian parlente lengkap datang dan mengejutkan mereka berdua, Justin lebih tepatnya. Apa lagi ini? Apa aku akan di sup hidup - hidup? Justin menggigit bibirnya.
"Lagipula anda belum menyelesaikan job list anda, Tuan. Hari ini anda ada meeting penting, jadi aku sarankan anda untuk menyelesaikan tugas itu."
Mr. Collins mendengus dan berjalan dengan langkah kesal, tidak lupa sebelum ia benar - benar pergi dari sana, pria itu menoleh pada Justin dan mengucapkan salam perpisahan "i got my eye on you, Mr. Sparks" bisiknya bagaikan pisau tajam yang menusuk. Membuat Justin meringis tertahan.
"Maafkan perbuatannya, dia tidak benar - benar dengan kata - katanya." Sekarang pria berpakaian parlente itu berdiri di hadapan Justin Yang juga berdiri dengan kaki yang sedikit bergetar karena gugup. Walaupun tubunya yang besar terlihat menakutkan, akan tetapi garis wajahnya menunjukkan ia Adalah pria yang ramah, berbeda 180 derajad dengan sikap arogan Mr. Collins yang benar - benar membuat Justin hampir menyuntikkan adrenalin untuk memacu jantungnya agar kembali berdetak. Entah siapapun dia, yang jelas Justin benar – benar berterimakasih padanya karena telah menyelamatkannya dari amukan Mr. Collins yang mirip dementor.
"Si..sisiapa kau?"
Pria itu menyeringai, sepertinya ia tahu jika Justin menduganya akan berbuat jahat atau mencincang – cincang tubuhnya sekarang. "Aku asisten keluarga Collins, tenang saja, aku tidak akan menyakitimu"
"Oh, by the way I'm max" pria itu mengulurkan tangannya menunggu Justin untuk menjabatnya.
Justin menghela nafas lega karena setidaknya ada orang waras dirumah ini. Ia kemudian menjabat tangan max "I'm Justin sparks, sir"
Max menyeringai lagi, sekarang ia memperlihatkan gigi - gigi kecil yang tertata rapi di atas gusi kemerahanya. "Max, just max, ok? Relax man, i'm not gonna eat you." Perkataan itu lebih kepada konsolidasi yang membuktikan jika ia pria baik - baik agar justin tidak merasa terlalu segan padanya.
Justin terkekeh meskipun masih dengan nada canggung. "Ok, max" pria dihadapannya itu memang terlihat mengerikan, tapi dari sikapnya tadi, pria itu adalah pria baik yang ramah. Memang, apa yang tampak diluar tidak selalu merepresentasikan apa yang sebenarnya ada di dalam dirinya.
"What I am, silahkan duduk Mr. Sparks. Kau pasti lelah karena berdiri sejak tadi." Max mengarahkan Justin untuk berjalan menuju sofa hitam mengkilap di tengah ruangan. Justin bahkan lupa jika betisnya lelah karena terlalu lama berdiri, sikap mengerikan Mr. Collins membuatnya melupakan segalanya, seperti virus komputer yang merusak sistemnya.
"Kau mau minum apa Mr. sparks? Aku akan meminta pelayan untuk membuatkannya? Champagne?" Ujar max ketika mereka sudah duduk di sofa itu, pria besar itu melipat kaki kanannya duduk relaks bersandar di sofa.
"Tidak, ini masih terlalu pagi untuk minum champagne." Justin menyeringai.
Max mengulum bibirnya dan memikirkan sesuatu yang pas untuk diminum pagi ini. "Kau benar, akan ku suruh pelayan untuk membawakanmu orange juice saja, ok?" Tanpa dikomando dan persetujuan Justin Max langsung menekan tombol telepon wireless di atas meja kaca kecil di sebelahnya dan memerintahkan seseorang yang tentu saja adalah pelayan, untuk membuatkan orange juice.
"Jadi, kau anak Angeline sparks?" Max menopangkan tangannya di atas lutut, ka terlihat begitu tertarik dengan pembicaraan yang dimulainya itu.
Justin mengangguk "ya, kau mau mengatakan jika aku tidak mirip dengannya kan?"
Max terkekeh dan menggeleng "tidak tidak, meskipun hal itu benar, aku hanya akan menyimpannya dalam hati." Perkataan max itu besambut dengan kelakarnya yang begitu nyaring.
"Well, molly benar2 memuja Angeline. Sekarang aku tahu mengapa ia mengencanimu." Max memicingkan matanya dan mengusap - usap dagunya. Ia bertindak seolah dirinya adalah thomas alpha edison ketika sedang berkutat dengan teori - teori listriknya.
"Kau sepertinya sudah salah paham, kami tidak berkencan, kami saling... Benci sebenarnya" Justin mendengus dan membuang muka, ia heran mengapa orang -orang terus saja berhipotesis dan mengambil kesimpulan jika mereka berdua sedang berkencan. Come on molly collins? Hell no!
"Benci? Aku tidak percaya. Lihatlah bagaimana molly melihatmu, itu bukan ekspresi benci."
Justin mengeryitkan keningnya, ia kemudian menghela nafa berat "kau tidak tahu dengan apa yang sedang kah bicarakan, max. You really really didn't know anything." Ia bersumpah jika mengatakan yang sebenarnya pada max, pria itu pasti akan menarik kembali ucapannya tadi dan menyesal telah mengatakannya.
Max melirik justin dengan tatapan menggoda, "You!"
Max mengangkat telunjuknya dan menggoyang - goyangkannya seolah memberi isyarat 'No'.
"Kau yang sebenarnya tidak tahu apapun Mr. Sparks" pria itu kemudian terkekeh setelah menyelesaikan kalimatnya.
Justin mengeryitkan dahinya, apa sebenranya yang dimaksud oleh pria ini. Ia berkata seolah - olah benar2 mengenal hubungannya dan molly, tapi ia tidak berniat untuk menjawab pernyataan membingungkan yang dilontarkan oleh max itu. Justin meminum orange juice yang baru saja diantar oleh seorang pelayan wanita berseragam ungu putih.
"Kau belum pulang?" Ujar Molly yang tiba - tiba saja datang dari belakang mereka dan duduk berpangku dengan max, sepertinya gadis itu sudah benar - benar akrab dengan pria ini. Max puntampak tidak keberatan dengan itu.
"Mengapa harus buru – buru, biarkan anak ini menikmati kunjungan pertamanya." Max mengangkat sebelah alisnya, menggoda Molly. Molly, gadis itu menyikut rusuk Max hingga pria itu tertawa meringis.
"Well, karena kau mengungkitnya, aku akan pulang sekarang. Lagipula pasti orang tuaku mencemaskanku. Aku akan benar - benar dikuliti dan dijadikan bahan untuk membuat jaket oleh momku" ujar justin seraya berdiri di susul Molly dan max, kedua orang itu mengantarkan Justin hingga kedepan pintu.
"Aku pulang penyi...um Molly" pamit Justin sebelum masuk kedalam mobilnya. Molly hanya menjawab dengan mengangkat sebelah alisnya.
"Max, terimakasih atas orange juicenya" justin menoleh kearah max yang sedang merangkul bahu molly. Pria itu mengangguk dan menyengir lebar.
"Tidak usah sungkan, datanglah lagi kapan - kapan, ok?"
Justin membalas senyuman Max, pria ini benar - benar jauh berbeda dengan sikap kedua majiaknnya yang benar - benar menyebalkan.
"Ok" justin kemudian masuk kedalam mobilnya dan menyalakan mobilnya.
"Kapan - kapan?" Molly meyindir sinis pada max yang menutup pintu ketika mobil justin benar - benar sudah hilang dari ruang pandang mereka.
Max balas melirik molly dengan tatapan menggoda. "Kau juga mengharapkannya kan, tuan putri?"
"Well, dia tampan, very handsome, dia juga baik. Jadi well, aku setuju saja jika kau berkencan dengannya."
Molly mendengus dan wajahnya tersipu merah, ia memukul - mukul otot bisep steroid Max.
"come on, what do you say, i didn't like him" molly menggigit bibirnya, wajahnya bersemu merah, ia kemudian menghentakkan kakinya dan berlari kecil menuju tangga meninggalkan max yang masih berdiri ditempatnya sambil tertawa kecil.
"Hey, it.s okay if you like him."
"Shut up, Max!"
***
TO BE CONTINUED ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Storie d'amore(COMPLETED) Sungguh menggelikan ketika cinta terasa seperti sihir, dan semua orang menyebutnya takdir. Saat takdir berubah menjadi sebuah humor, orang - orang akan menyebutnya kejutan yang menyenangkan - Justin Sparks Awalnya kehidupan benar-benar...