Part 12 - I Wonder If...

163 12 0
                                    

"MOM?"
Molly merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Justin adalah anak Angeline Sparks? What the damn hell! Adakah kenyataan yang lebih buruk lagi. wajahnya terasa panas, ia benar – benar tidak tahu harus berbuat apa. Jadi ia hanya mematung disana. Mengapa ia begitu bodoh? Mengapa ia tidak menyadarinya dari awal, ia tahu jika nama belakang Justin adalah Sparks tapi ia benar – benar  tidak menduga jika Justin Sparks dan Angeline Sparks memiliki hubungan. Ia bahkan telah memanggil Justin dengan sebutan jerk  di hadapan Angeline.

Molly tidak perduli lagi dengan bagaimana ekspresinya saat ini, gadis itu benar – benar malu, bahkan di hadapan orang yang dikaguminya dia sempat – sempatnya bertindak begitu bodoh. Ia memandangi Justin yang menyeringai penuh kemenangan di hadapannya, ingin rasanya menendang wajah pria itu jika saja Angeline tidak berdiri disampingnya.

"Yes, mungkin saja saat di kelas kau tidak pernah memperhatikan namaku. So, let me introduce myself, I'm Justin Anthonie Sparks and this is my mom Angeline Sparks. Miss Collins yang terhormat." Justin memajukan wajahnya sedikit lebih dekat dengan wajah Molly, sehingga gadis itu bisa melihatnya dengan jelas.

Molly menatap pada Justin dengan wajah memerah, semerah baju yang di pakainya. Ia melihat Justin yang terkekeh di depan wajahnya. Gadis itu tidak mengatakan sepatah katapun, rasanya seperti di telanjangi dihadapan seluruh umat di bumi. Ia benci melihat Justin menang, itu benar – benar menyebalkan. Ia dipermalukan dihadapan idolanya, Angeline, bahkan oleh anak lelakinya sendiri. Molly menggeram, gadis itu benar – benar sudah tidak dapat menahan emosinya lagi.

PLAKK...

Sebuah tamparan mendarat telak di pipi kanan Justin. Awh, SHIT! Justin memegangi pipinya yang panas. Ia bahkan tidak memperhatikan Molly yang berjalan cepat menuju pintu lift. Gadis itu bahkan tidak memperdulikan Anna yang memanggil – manggil namanya.  Ia terus saja berjalan hingga benar – benar berada di dalam lift dan ia langsung menekan tombol G, pintu lift tertutup dan lift itu berjalan melesat kebawah.

Justin mendengus sambil memegangi pipinya, tapi ia tidak berniat untuk mengejar Molly, karena sudah cukup baginya mempermalukan Molly malam ini. Sudah bisa di pastikan gadis itu benar – benar jengkel terhadapnya.

"Are you okay? Is that girl..." Angeline melingkarkan tangannya di pinggang Justin. Pria itu menoleh padanya dengan wajah kesal dan pipi kanan yang merah.

Justin mendengus dan melihat kea rah lain. Ia bahkan tidak perlu mendengar momnya menyelesaikan kalimatnya, ia sudah tahu pembicaraan itu mengarah kemana.
"Yes, that's the cray girl"

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, jalanan sudah cukup lengang, hanya ada beberapa kendaraan saja yang masih melintas di jalan. Justin berusaha menahan kantuknya, ia menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. Disaat yang sangat dibutuhkan seperti ini supir sialannya malah tidak bisa mengantarkannya pulang.

Damn, aku mengantuk sekali. Justin menguap untuk kesekian kalinya, ia mengerjap – ngerjapkan matanya berusaha menyingkirkan rasa kantuk yang menduduki kelopak matanya. Ia kemudian mematikan musik yang sedari tadi mengalun, ia sebal karena rupanya alunan – alunan musik itu membuatnya tambah terhanyut dalam kantuk.

Tapi tiba – tiba saja ia melihat sorang gadis yang berjalan terhuyung – huyung, menuju kearah kap depan mobilnya. Spontan Justin mengerem mobilnya dan mencoba mengenali gadis mabuk yang sekarang sedang berdiri di depan kap mobilnya.

"Maniak! Hey Maniak! Turun kau sekarang juga...tu...run...!" Gadis cantik dengan wajah masak  karena mabuk itu, menggedor – gedor kap mobil Justin dengan keras. Sepertinya gadis itu tidak sadar dengan apa yang sedang dilakukannya.

Justin memicingkan matanya, mencoba mengenali wajah gadis bergaun merah itu. Ia mengeryitkan dahinya ketika ia yakin gadis yang sedang mabuk itu adalah Molly.
What the hell she doing this late?

Justin mematikan mesin mobilnya dan keluar menghampiri Molly yang sekarang merebahkan dirinya di atas kap mobilnya sambil sesekali bersenandung dan tertawa sendiri. Justin mengeryitkan hidungnya karena bau gadis itu benar – benar menyengat. Entah berapa banyak alcohol yang telah ditengaknya hingga membuatnya mabuk berat seperti ini.

"Molly, apa yang kau lakukan disini? Mana supirmu? Mana mobilmu?" Justin menepuk – nepuk pundak Molly berharap ia segera menyingkir dari kap mobilnya.

Molly, gadis yang dipanggil namanya itu malah menyeringai lebar pada Justin dan mencoba untuk duduk dengan susah payah di atas kap mobilnya.
"Justin... oh Justin Sparks, there you are! OMG, aku mencari...kau...kemana - mana! Aku... tidak sabar untuk... untuk menghajar wajah...wajah menyebalkanmu itu. You bastard!" Molly berbicara dalam ketidak sadaraannya. Ia berbicara sambil terus menunjuk – nunjuk kearah Justin.

Justin terkekeh, bahkan dalam keadaan mabuk gadis ini sempat – sempatnya ia memaki dirinya. Justin kemudian menghela nafas dan mencoba untuk menarik tubuh Molly agar ia turun dari kap mobilnya. Setelah bersusah payah menurunkan Molly dari kap mobil, Justin memapah gadis yang berjalan terseok – seok itu untuk masuk kedalam mobilnya. Ia tidak mungkin meninggalkan seorang gadis di tengah jalan seperti ini, dan juga ia masih punya hati nurani pada gadis ini meskipun hubungan mereka tidak pernah baik.

Holly molly, gadis ini benar – benar berat.

"Don't... touch...me! Back.. off!" Molly mendorong tubuh Justin, hingga pria itu tidak siap dan melepaskan peganganya pada Molly, gadis itu jatuh terduduk di jalanan.

"Kau...hhh...kau Justin Spark brengsek... berani...hhh beraninya kau mempermalukan aku... setidaknya jangan permalukan aku di hadapannya...di hadapan Angeline! Sekarang dia pasti akan membenciku...iyakan? Iyakan?" Molly menampar – nampar bahu Justin dengan keras. Pria yang berusaha memapahnya itu hanya bisa menggeleng – gelengkan kepala melihat tingkahnya.
"Tidak, dia tidak membencimu. Sudah ayo, aku antar kau pulang."

Molly menepis tangan Justin yang akan memapahnya menuju mobil, "Aku tidak mau pulang! Kau dengar itu? Tidak mau!"

Shit! Gadis ini, meskipun mabuk dia masih saja menyusahkan.

Justin kembali meraih tangan Molly, berusaha untuk memapahnya lagi. Ia hampir kesulitan untuk berdiri karena Molly yang tidak mau diam. Gadis itu terus saja berontak dalam dekapan Justin sambil terus mengoceh dan tertawa – tawa tidak jelas.

"Come on Molly, sadar lah, kau benar – benar menyusahkan" Justin berusaha untuk tetap berjalan kea rah pintu mobilnya yang sudah terbuka. Ia menghela nafas lega ketika sudah berhasil membawa Molly masuk kedalam mobilnya. Justin memandang kearah gadis yang sekarang sepertinya telah tertidur itu, ia bahkan tidak tahu harus ia apakan gadis ini. meskipun sempat terlintas difikirannya akan membuang tubuhnya kejurang, tapi ia urungkan mengingat banyaknya cctv di jalan yang mengintai. Ia pasti akan langsung tertangkap jika melakukan pembunuhan. Jadi ia memutuskan untuk mengantar gadis itu pulang kerumahnya. Tapi satu – satunya hal yang menjadi masalah adalah Justin tidak tahu dimana rumah gadis itu. Jadi pria itu berusaha mencari I-phone atau benda apapun yang bisa menunjukkan keberadaan rumahnya.

Justin perlahan menarik tas kecil yang sedari tadi di pegangi Molly, gerakannya begitu pelan agar ia tidak membangunkan gadis itu. Tapi tiba – tiba Molly terbangun dan menarik kerahnya. Justin terkejut dan terdiam menunggu gadis itu bereaksi. Ia fikir gadis itu akan menamparnya atau memukulinya. Tetapi tidak, gadis itu malah menyentuh pipi kanannya dan mengelus – elusnya.

"Justin..." Suara Molly terdengar serak dan ia masih memegangi wajah Justin yang hanya berjarak beberapa jari dari wajahnya itu.

"Yes..." Ujar Justin canggung. Pria itu mengalihkan pandangannya dari Molly tetapi tidak berniat untuk melepaskan pegangan Molly dari wajahnya.

"What are you gonna do to me?" Suara Molly terdengar lemah, ia menyeringai lebar pada Justin. Membuat pria diahadapannya itu salah tingkah.

"Mengantarmu pulang." Justin mengangkat alisnya. Posisi itu tidak nyaman, benar – benar tidak nyaman. Itu membuatnya berfikir yang bukan – bukan. Jadi ia berdehem dan berusaha mengembalikan akal sehatnya.

Molly tersenyum dan tertawa, ia kemudian menepuk - nepuk wajah Justin, pria itu meringis kesakitan tetapi ia tidak mampu menghindar karena cengkraman Molly pada kerahnya benar – benar kencang
"hhh...Bodoh...Aku tidak mau pulang!!! Jangan...bawa...hhhh...aku pulang, mengerti? Mengerti tidak?"
Justin kembali terkekeh, bahkan dalam kondisi mabuk seperti ini, sifatnya masih tetap menyebalkan. Suka memerintah, membentak dan meremehkan orang lain. Mata Justin menelusuri setiap lekuk wajah Molly, baru kali ini ia benar – benar memperhatikan wajah gadis itu dengan seksama. Well, sebenarnya dia manis juga, no, beautiful. Justin menyukai garis tipis di bawah bibirnya dan hidung mancungnya yang kecil dan – Oh no, wake up Justin! Justin mengerjap – erjapkan matanya, mencoba tersadar dari lamunannya. Ia kemudian melepaskan pegangan tangan Molly pada kerahnya dengan paksa, ia menjauhkan wajahnya dari Molly, menjauhkan fikirannya yang telah berfantasi terlalu jauh.

"Aku benar – benar harus membawamu pulang sekarang, Molly Collins." Justin menyalakan mesin Mobilnya dan mobil itu mulai berjalan menggerus menyusuri jalanan sepi itu. Bahkan Justin tidak tahu kemana arah tujuannya, ia tidak tahu harus membawa gadis di sampingnya ini kemana sementara matanya sudah mulai mengantuk lagi. FUCK, ia sudah tidak bisa menahan matanya yang hampir saja menutup, tidak ada tempat untuk bersinggah atau semecam motel dan hotel disini, disisi – sisi jalan hanya terdapat beberapa club yang masih buka, akan tetapi mereka tidak mungkin bermalam di klub. Jadi ia memutuskan untuk menepikan mobilnya disebuah tempat sunyi, semacam taman di pinggiran sebuah danau. Ia memarkirkan mobilnya tepat menghadap danau itu dan kemudian mematikan mesin mobilnya. Tidak ada salahnya untuk beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan pulang, dari pada terjadi hal yang tidak diinginkan jika ia menyetir dalam keadaan mengantuk.

Justin menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, pria itu mengantupkan kelopak matanya, mencoba mengistirahatkan kedua matanya untuk beberapa saat. Ia baru sadar jika ia benar – benar kelelahan. Seharian ini dia tidak sempat untuk beristirahat barang sejenak, karena ia harus bertemu dengan beberapa relasi bisnis menemani momnya dan pada petang harinya ia harus pergi lagi menuju acara fashion show, sampai akhirnya ia disini duduk berdua dengan Molly Collins yang sudah tertidur pulas di sampingnya. Ia tidak habis fikir, dimana gadis ini meninggalkan mobilnya, jika ia boleh menebak, mungkin di salah satu dari deretan klub yang mereka lewati tadi. 

DUKK...
Justin merasakan benda keras menghantam dadanya, spontan ia mengangkat kepalanya yang tadi ia sandarkan di kursi mobil. What the, kepala Molly Collins sudah mendarat sempurna di dadanya yang bidang. Gadis itu tampak tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Matanya masih menutup dengan nafasnya yang berat teratur menandakan gadis itu masih tertidur. Justin mencoba untuk memindahkan kepala gadis itu, akan tetapi Molly malah melingkarkan lengannya di pinggang Justin dengan kencang. Aw, Shit. , Justin terkunci dalam posisi itu, ia tidak bisa bergerak kemana – mana karena tubuh Molly menindih tubuhnya.

"Mhhh...Aku kedinginan..mom" Desah Molly di dalam tidurnya. Justin menghela nafas, igauan Molly tadi membuat hatinya ngilu. Gadis ini sedang bermimpi indah, ia tidak mungkin membangunkannya. Ia tidak mau jika harus menghancurkan pertemuan Molly dengan momnya meskipun hanya dalam mimpi. Ada rasa iri yang membanjiri diri Justin, mengingat ia tidak pernah sekalipun memimpikan dadnya semenjak ia meninggal. Oh man, Justin baru menyadari jika ia benar – benar merindukan dekapan pria itu. Tanpa terasa matanya mulai panas dan setetes air mata jatuh dari pipinya, Justin menutup matanya, kembali menyandarkan kepalanya dan tertidur.

***

Sinar mentari pagi menusuk – nusuk mata Molly memaksanya untuk bangun. Gadis itu mencoba membuka matanya yang terasa begitu berat. "Ahw... my head" Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar – putar. Setelah benar – benar tersadar ia terkejut mendapati dirinya tidak berada di kamarnya yang nyaman, melainkan di sebuah Lamborghini di pinggiran danau. Dan Ia meraba – raba tempat kepalanya bersandar yang terasa aneh dan bergerak – gerak.

Dug...dug...dug
Damn, it's a heartbeat. Molly menggigit bibirnya, ia benar – benar tidak ingat dengan apa yang terjadi tadi malam, ia bahkan tidak mengingat pada siapa ia bersandar sekarang. Ia perlahan mengangkat kepalanya untuk melihat wajah orang itu. Dan ketika mendongak, ia melihat wajah Justin Sparks, tertidur disana sambil bersandar di sandaran kursi mobilnya. Pria itu tampak begitu pulas dan kelelahan. Perlahan Molly melepaskan pelukannya pada pria itu dan membenarkan duduknya.

Apa yang telah dilakukannya tadi malam? Mengapa ia bisa bersama dengan Justin di dalam mobil ini. Molly memukul – mukul kepalanya berusaha mengembalikan memory tadi malam. Molly meraba – raba badannya, bajunya, bra, dan celana dalam. Ia menghela nafas lega karena semuanya masih berada di tempatnya, itu berarti ia tidak melakukan hal gila dan terancam merusak masa depannya.

Molly menopang kepalanya dengan tangan, ia menghadapkan tubuhnya kearah Justin yang masih terbuai dalam mimpi indahnya. Ia memperhatikan wajah Justin dengan begitu lekat, ia menghilangkan fikiran – fikiran keji yang melintas di benaknya. Menghilangkan fikiran seperti mencekik pria ini selagi tidur atau keluar dari mobilnya dan mendorong mobilnya kedalam danau agar ia mati disana.

Tapi tiba – tiba saja, secepat komet yang jatuh melewati tata surya, perasaan itu datang lagi, mendesir melintasi urat syarafnya, perasaan aneh yang mengganjal didada, seperti gatal dan perih dalam satu dimensi yang sama. Pria yang ada di hadapannya sekarang entah kenapa membuatnya tidak merasa ketakutan. Mungkin jika ia tebangun dan mendapati dirinya di dalam mobil orang lain dan bukannya mobil Justin, ia pasti sudah akan berteriak minta tolong dan menghabisi pria itu dengan tangannya sendiri. Dan entah kenapa ia merasakan perasaan yang sebaliknya, ia merasa nyaman berlama – lama berada di dalam mobil ini bersama Justin. Meskipun pria ini telah membuatnya benar – benar jengkel dan malu tadi malam, tapi sebenarnya dilubuk hatinya yang paling dalam tanpa perlu diucapkan oleh mulutnya, ia sudah memaafkannya.

Tiba – tiba saja Molly merasakan perutnya seperti diaduk – aduk, ia merasa begitu mual. Molly mengeryitkan dahinya menahan muntah ia lalu bergegas keluar dari mobil dan mencari tempat untuk mengeluarkan isi perutnya. Molly terduduk lemas ketika ia sudah memuntahkan sisa – sisa alcohol dan makan malamnya. Ia baru saja ingat jika tadi malam ia pergi kesebuah klub malam dan entah berapa botol chivas yang telah ia habiskan, ia benar – benar jengkel karena telah dipermalukan oleh Justin dihadapan Angeline Sparks hingga ia memutuskan untuk mengobati rasa jengkelnya dengan minuman berkadar alcohol 40% itu. Molly mengeryitkan dahinya ketika masih merasakan alcohol itu merayap di kerongkongannya, rasanya sengak dan kecut. Molly berdehem untuk menghilangkan rasa yang menyiksa kerongkongannya itu.

"Here." Justin menyodorkan sebotol air mineral di depan wajah Molly, rupanya pria itu sudah terbangun ketika Molly keluar dari mobil dan membanting pintu terlalu keras, itu mengejutkannya dan membuatnya terlonjak dan terbangun dari tidurnya.

Molly mendongak untuk melihat kearah suara itu. "Thanks." Ia mengambil botol itu dari tangan Justin dan meneguk sebanyak mungkin air untuk membersihkan kerongkongannya. Sementara Justin duduk beralaskan rumput yang masih basah karena embun di sebelah Molly yang sudah duduk duluan disana. Ia tidak perduli lagi dengan dress Channel ratusan ribu dollarnya yang kotor karena duduk di rumput.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?" Justin menatap kearah Molly yang duduk sambil menopang kepalanya dengan tangan.

Molly menggeleng "No, my head spinning like cray." Gadis itu menutup matanya,  mencoba menghilangkan rasa sakit kepala akibat terlalu banyak mengonsumsi minuman beralkohol.

Justin mengeryitkan dahinya, alis tebalnya berkedut – kedut. Mencoba mempetimbangkan seusatu. Ia mendekatkan duduknya pada Molly dan meminta gadis itu untuk bersender di bahunya.
"Aku pinjamkan bahuku jika kau mau." Ujar Justin, nada bicaranya menunjukkan jika hal itu benar – benar canggung untuknya. Karena memang ini pertama kalinya mereka berbicara baik –baik tanpa adanya perkelahian.

Molly mendongak dan menatap Justin, pria itu nampak tulus dengan perkataannya meskipun saat ini ia tidak melihat kearah Molly. Ia menggigit bibirnya, menimbang – nimbang tawaran Justin.  Dan perlahan merebahkan kepalanya di bahu Justin yang keras dan hangat. Momen itu benar – benar awkward bagi keduanya, Justin beberapa kali meneguk liurnya begitu juga dengan Molly. mereka terhanyut dalam diam, menyelami fikiran mereka masing – masing. Molly meremas – remas tangannya sendiri, kupu – kupu mulai beterbangan lagi di perutnya, menciptakan perasaan mual yang menyenangkan sekaligus mendebarkan.

"Why you so nice to me?" Molly berusaha untuk meleburkan perasaan canggung diantara keduanya dengan membuka pembicaraan.

Justin terkekeh, matanya menyapu pemandangan danau yang terpampang dihadapan mereka. "Nice? Come on, Aku hanya bersikap sewajarnya saja. Aku tidak mungkin meninggalkanmu ditengah jalan begitu saja dan di makan beruang..."

Molly terkekeh dan menyikut rusuk Justin hingga pria itu meringis tertahan "Tidak ada beruang di tengah kota, bodoh."

"well, mungkin saja kan, ada beruang lepas dari kebun binatang dan berusaha memakanmu."

Molly kembali terkekeh, kali ini ia memutar bola mata hijau rumputnya "Come on, imajinasimu terlalu tinggi. Dan tidak ada beruang yang berani memakan Molly Collins" nada bicaranya kembali arogan seperti biasanya.

Justin mengerang dan mendengus. Gadis ini, dia bisa bertingkah arogan kapanpun dan dimana pun.
"Ya, beruang itu akan lebih dulu lari terbirit – birit melihat wajah sombongmu itu." Nada bicaranya terdengar sarkatis.
"Lagi pula kau mabuk kan karena ulahku, jadi aku merasa harus bertanggung jawab."


Molly terkekeh, ia tidak berminat untuk membalas sindiran Justin padanya, matanya bergerak lurus kedepan, memperhatikan gelombang – gelombang kecil di atas danau, memperhatikan pantulan – pantulan cahaya membentuk spectrum pelangi disana. Ia kemudian membenarkan posisi kepalanya di atas bahu Justin, seolah membenamkan kepalanya agar melekat selamanya di bahu yang benar – benar nyaman itu. Molly menggigit bibirnya, ia benar – benar tidak mengerti dengan dirinya, mengapa ia malah menikmati setiap hal yang terjadi dalam momen ini. Hembusan nafas, titik – titik embun, atau bahkan bunyi kicauan burung yang bersahutan. Bahkan orang yang ada disampingnya ini bukanlah orang yang disukainya, bukanlah orang yang dekat dengannya, tapi entah mengapa ia merasa nyaman disini, disisi Justin Sparks musuh bebuyutannya, orang yang paling di bencinya di seantero jagad raya.
"Well, jadi kau putra tunggal Angeline Sparks, huh?"

Justin menyeringai dan menoleh pada Molly yang masih berbaring nyaman di bahunya.
"Unfortunatelly yes, kenapa? Kau masih belum bisa menerimanya ya?" Pria itu terkekeh, ia membayangkan ekspresi terkejut Molly yang menggelitik hatinya tadi malam.

Molly memajukan bibirnya, sekali lagi ia menyikut rusuk Justin dan membuat pria itu mengerang sambil menahan tawanya. "Kau pasti menganggap aku benar – benar bodoh kan? Seharunya aku bisa tahu sejak awal kalau kau itu anak angeline." Gadis itu menghela nafas berat, mengingat kejadian tadi malam yang benar – benar memalukan. Ia bahkan terbayang wajah tidak senang Angeline saat ia mengatakan hal yang buruk pada Justin. Gadis itu mengerang dan menutupi wajahnya dengan tangan.

Justin tersenyum, ia menggigiti bibirnya menahan tawa. Jujur saja, tadi malam ia benar – benar terhibur, dengan sikap bodoh yang ditunjukkan Molly, tapi ia tidak ingin gadis itu tahu jika ia menikmati setiap detik momen tadi malam, bisa – bisa Molly berubah menjadi monster danau dan menelannya hidup - hidup. Pria itu berdehem, "Um, well, sedikit. Sudahlah, jangan terlalu difikirkan, itu akan menyakitimu" Justin tidak dapat menahan seringaian gelinya.

Molly mengangkat kepalanya dari bahu Justin dan mulai menampar – nampar dada pria itu. "Kau menyebalkan, kau menyebalkan. Kau tidak tahu betapa malunya aku, kau mempermalukan aku ditengah – tengah orang ternama di Hollywood. Seharusnya aku membunuhmu saja saat di ruang inventory waktu itu." Setelah dirasanya cukup dan tangannya kelelahan, ia menghentikan perbuatannya melipat tangannya di dada dan menghempaskan kepalanya dengan kasar, kembali ke bahu Justin.

Pria itu terkekeh dan tertawa nyaring, memperdengarkan suara bassnya yang mengalun bagai nyanyian. "Sekarang kau menyesal menyelamatkan aku, huh? Kau benar – benar pamrih, penyihir."
"Kalau begitu aku juga menyesal menyelamatkanmu dari jalanan tadi malam."

Molly menyeringai sinis dan melirik wajah Justin yang hanya beberapa senti jaraknya dari wajahnya. "Lihatlah siapa yang pamrih sekarang?" Molly membalikkan pernyataan Justin tadi, bagai boomerang yang dipakai suku aborigin untuk berburu.
"Aku bahkan mengatakan selera fashionmu kampungan, oh shit, aku benar – benar harus memotong lidahku setelah ini." Molly teringat pertemuan pertama mereka, ia sempat mengatakan jika Justin punya selera fashion yang benar – benar buruk dan memakai pakaian dengan produk murahan. Molly melirik kearah Rolex keemasan yang melingkar di tangan Justin, itu setidaknya berharga rarusan ribu dollar. Molly mengerang, ia menyesali sikapnya yang terlalu cepat menilai orang lain.

Justin kembali tertawa, ia benar – benar geli melihat tingkah Molly yang ternyata begitu polos dan bodoh. Gadis itu sangat berbeda dengan saat – saat pertemuan mereka sebelumnya. Gadis perfect dengan riasan wajah tebal, lipstick tebal dan baju branded tanpa kerutan sedikitpun, silletoes mengkilap yang begitu mahal. Sekarang lihat lah dia, rambut yang berantakan kemana – mana, tanpa riasan wajah, dan dress Channel merah yang sudah kotor, ia bahkan duduk beralaskan rumput, seumur – umur ini baru pertama kali baginya duduk di tempat sekotor itu. Molly menghela nafas dan merogoh saku tasnya, mengambil sebuah cermin kecil dan ia mengerang setelah melihat bayangan yang terpantul dihadapannya.

"Holly Shit! My face, kenapa bisa tampak seburuk ini." Molly benar – benar panik mendapati wajahnya yang polos tanpa make up, karena ia tidak pernah percaya diri jika harus tampil tanpa riasan wajah sedikitpun. Ia kembali merogoh saku tasnya mencoba menemukan lipstick dan bedak.
"What the damn hell, dimana semua MAC ku?" Molly meringis, ia pasti telah meninggalkan semua peralatan make upnya di klub tadi malam, karena ia terlalu mabuk, ia kesulitan mencari dompet, lalu ia mengeluarkan semua barang yang ada di dalam tasnya, dan rupanya ia melupakan untuk membawa make upnya kembali.

Justin menggeleng – gelengkan kepalanya melihat Molly yang begitu panic karena kehilangan barang – barang keramatnya, barang – barang yang wajib di bawanya kemanapun dan dimanapun ia berada.
"Hey, sudahlah. Lagi pula kau terlihat lebih cantik tanpa make up." Justin mengangguk – anggukan kepalanya, seolah membenarkan perkataannya sendiri.

Molly membeku mendengarkan perkataan Justin tadi, tidak ada seorangpun yang pernah berkata begitu sebelumnya. Tangannya berhenti mengobrak –abrik isi tasnya. Ia menoleh pada Justin yang lebih dulu melihat kearahnya. Pria itu tersenyum dalam balutan bibir tipisnya yang berwarna merah muda, mata hazelnya yang berkedut – kedut dan berbinar karena terpantul cahaya matahari. Melihatnya terlihat tampan, no, so freakin handsome. Gadis itu melenguh tertahan. Molly meneguk liurnya beberapa kali, ia mengapitkan rambutnya yang berantakan menghalangi wajahnya ke belakang telinga. She swear, momen ini benar – benar awkward, ia mengalihkan pandangannya mencoba mengembalikan kesadarannya. Wake up Molly, wake up. Molly menggigiti bibirnya dengan kencang ketika ia merasakan Justin merangkak maju mendekati tubuhnya, pria itu semakin dekat seiring dengan banyaknya kupu – kupu yang berterbangan di perut Molly menciptakan rasa yang teramat aneh, mual, menjengkelkan, dan menyenangkan.

What are you gonna do? Molly berteriak dalam hati, tapi tidak ada niatan untuk menjauhkan wajahnya dari wajah Justin yang sudah sangat dekat. Entah mengapa tanpa sadar ia pun menginginkan akan benar – benar terjadi sesuatu yang tak pernah diduganya sebelumnya. Perasaan berdesir itu datang lagi, membelai hatinya, membawanya terbang melintasi taman surgawi yang dipenuhi bunga – bunga hingga kupu – kupu di dalam perutnya beterbangan kesana kemari, desiran – desiran yang semakin kuat itu menenggelamkannya dalam fantasi yang tak mampu untuk di bendungnya. Pria ini apa sebenarnya yang ada didalam fikirannya. Molly menutup kedua bola mata hijaunya dan...

TO BE CONTINUED...

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang