Part 14 - let me cheer you

167 11 0
                                    

Justin sekarang duduk bersender di sebuah kursi besi putih di balkon lantai 2 mansionnya sambil menyesap hot chocolate  yang sudah tidak panas lagi. Sudah hampir 2 jam ia hanya duduk disana sambil memperhatikan titik – titik hujan yang jatuh. Hujan, hujan memang selalu menjadi momen paling mudah untuk membawa Justin kembali menuju rentetan – rentetan kenangan lama yang hampir pudar. Suara gemerisik dan rintikannya yang mengalir di sepanjang railing balkon selaku mantra yang membuatnya tanpa sadar membuka lembaran kenangan demi kenangan yang telah lama berdebu dalam hatinya, menggelitik kenangannya sampai ke urat syaraf, memaksanya untuk mengayuh pedal memorynya menuju ke belakang.. Fikirannya merayap memaksanya menyeruakkan kenangan musim semi 3 tahun lalu, tepat di hari ini, saat itu senja juga menangis memuntahkan titikan – titikan air yang jatuh dari langit, sederas air matanya yang membanjir membasahi kedua belah pipinya saat itu. Tepat di hari ini, ia kehilangan sosok malaikat tak bersayap yang selalu memancarkan kasihnya pada Justin. Pria itu benar – benar tidak tahan jika harus mengingat kembali momen paling di bencinya seumur hidupnya itu.

Justin mendesah panjang dan mengusap – usap pinggiran mug putih yang hampir kosong itu.

"huhhh, hot chocolate, dad, I miss you" desahnya perlahan, sulit baginya hanya sekedar untuk menghela nafas, seperti ada beban berat yang menduduki dadanya. Sekarang ia mampu merasakan jika dadnya duduk bersender di kursi sebelahnya, menikmati senja berselimut awan tebal. Justin bahkan mampu menghirup aroma wine di tubuhnya, merasakan hangat nafas yang dihelanya sepanjang waktu.

"Dad?" Suaranya bergetar dan serak, sekarang ia seperti orang penderita skizofrenia, yang tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan. Ia terus memandangi pria itu tanpa sedikitpun berpaling, mengisi dahaga akan kerinduannya yang menyiksa sampai kerelung hatinya.

Pria itu menoleh dan tersenyum pada Justin, senyuman bibir tipis yang diwarisinya.

"Justin, kau sudah pulang?"

BRUKK...

Justin terjatuh dari sofa tempat ia terlelap sejak beberapa waktu yang lalu, pria itu memegangi dahinya yang berdenyut – denyut karena terbentur lantai marmer.

"Shit, It just a dream. " Justin mendesah kecewa. Ia melirik jam dinding raksasa yang tergantung di dinding akustik board berwarna cream kusam, sudah pukul 10 malam. Ia menoleh kesana kemari, memandangi ruangan – ruangan kosong yang redup. Ia menghela nafas, tak ada seorangpun disana, orang tuanya tak kunjung datang sejak ia pulang dari mengantar Molly tadi. Charlie ada perjalanan bisnis lagi, sedangkan momnya disibukkan dengan rentetan meeting  yang tak kunjung usai. Sendirian lagi di sangkar emas ini? come on, it's suck.

"Justin? Apa yang kau lakukan duduk dilantai seperti itu?" Angeline mengeyitkan dahinya, menanggalkan kacamata Channel yang tadi dipakainya. Wanita itu baru saja tiba, dan dikejutkan dengan sosok penampakan anak lelakinya yang duduk dilantai sambil memegangi dahinya.

Justin terhenyak dan tersadar dari lamunan yang menyelubungi fikirannya. "Mom? Kau sudah pulang?" Justin bangkit dari tempatnya duduk dan merangkak duduk menuju sofa.

"Aku tadi tidur dan terjatuh dari sofa." Justin kembali memegangi dahinya yang memerah akibat benturan yang lumayan keras itu.

Angeline berjalan kearah dimana Justin duduk, kemudian wanita itu merapatkan duduknya dengan Justin. Menopang kaki kirinya diatas kaki kananya sebelum akhirnya berkata, "Terjatuh? How stupid you are." Wanita itu terkekeh, membuat dadanya turun naik.

Justin mendengus, menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa. Ia melirik kearah momnya yang sedang melihat padanya sekarang, menunggunya merespon sesuatu. Justin membenarkan posisi duduknya agar terlihat nampak serius.

"Mom, aku tadi bermimpi," Justin menggigit bibir bawahnya, mencoba menceritakan sesuatu yang mengganggu fikirannya.

Angeline mengeryitkan keningnya, ia kemudian memegang bahu Justin. "Mimpi?"

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang