Part 15 - Just a little hug

134 15 0
                                    

"Lalu apa? Kau berharap aku menjadi kekasihmu?"

Molly meneguk liur, ia mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba menahan akal sehatnya untuk tetap bersamanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya agar ia tersadar dari imajinasinya yang meroket.

"Jangan bermimpi, Maniak." Molly melipat tangannya didada dan kembali mengalihkan pandangannya ke atas panggung.

Justin menyeringai geli, "Ya, tentu saja aku tidak berani bermimpi untuk menjadi kekasih yang Mulia Miss Collins." Nada bicaranya yang sarkatis terdengar jelas. Ia kemudian terkekeh dan melemparkan pandangannya pada beberapa gadis yang berjingkrakan histeris di depannya.

Molly melirik kearah Justin dan tersenyum sinis. "Sebaiknya begitu."

***

Setelah konser berlangsung selama setidaknya 2 jam lebih itu berakhir, Justin langsung memacu mobilnya, membawa Molly bersamanya menuju Son of vet thrift, perjalanan itu cukup panjang, setidaknya memakan waktu 30 menit untuk sampai disana. Justin menepikan Lamborghini putihnya dijalan dekat jalur pejalan kaki yang digunakan untuk ladang parkir karena memang tidak ada tempat khusus untuk parkir di tempat itu. Tempat itu sederhana sekali, sangat jauh berbeda dengan kehidupan pusat kota yang glamour dan gemerlap, tidak ada silletoes, tuxedo, Gucci, Armani, LV dan benda bermerek lainnya. Disepanjang jalannya sengaja ditanami pohon mistletoe yang rindang. Tempat ini mirip kota Verona di italia, bangunan – bangunannya masih berupa dinding batu bata berwarna cokelat kusam, terdapat sebuah patung pria berjenggot tebal di tengah perempatan, semacam landmark tempat itu. Toko – toko penjual berbagai barang daur ulang berjejer di sepanjang jalan dengan rapi dan teratur.

Justin keluar dari mobilnya disusul Molly yang tampak setengah berdecak, "Whoa, ini seperti di negeri dongeng, negeri tempat Mother Theresa lahir."  Gadis itu tampak berkaca – kaca, seumur – umur dirinya tidak pernah pergi ketempat pinggiran seperti ini.

Justin menyeringai dan kemudian menggeleng. "Dasar bodoh, Mother Theresa itu bukan dongeng." Pria itu perlahan membuka langkahnya dan berjalan santai, sebelah tangannya di selipkannya kedalam saku celananya.

Molly berdesis dan memukul – mukul kepalanya dengan tangan. Bodoh, Mother Theresa itu dongeng? How stupid. Gadis itu berlari kecil menyusul Justin yang sudah berjalan cukup jauh didepannya.

"Sekarang bagaimana caranya kita  menemukan benda – benda yang bisa di pakai untuk procject kita?" Molly menatap frustasi pada toko – toko yang berderet yang terlihat tak berujung itu. Gadis itu kemudian menoleh pada Justin, "Kau tidak bermaksud untuk memasuki satu persatu toko itu kan?"

Justin menoleh pada Molly dan dan mengangkat alisnya, "Well, karena kau sudah bilang begitu, ayo kita lakukan."

Molly melotot dan mendengus. "Shit, itu bukan saran tapi pertanyaan!" Molly memukul bahu Justin, pria itu tertawa dan berbalik menghadap Molly. "Kau menyerah sebelum berjuang, payah."

Molly menggertakkan giginya, perkataan Justin berhasil memancing rasa gengsinya. Molly menghela nafas dan menaikkan daguunya "Um, tidak... ayo masuki satu persatu toko itu dan patahkan kaki kita" Molly berjalan mendahului Justin yang berdiri terkekeh melihat tingkah Molly yang menggelikan. Gadis itu memang tidak mau diremehkan dalam segala hal, Justin menggeleng – gelengkan kepalanya dan berjalan menyusul Molly.

***

Malam sudah berwujud ketika Molly dan Justin mengakhiri pencariannya, setidaknya mereka sudah menemukan beberapa benda yang mengilhami project yang akan mereka kerjakan, mereka memasuki setidaknya 10 toko, Molly terus saja mengeluh dan memaki karena harus terus berjalan kaki sepanjang perjalanan, kalau sudah begitu Justin hanya bisa menghiraukannya dan menutup kupingnya rapat - rapat.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang