Aku menegak seluruh sisa minuman lemon tea yang kupesan. Aku bersandar di sebuah sofa bewarna cokelat.
Aku tengah berada di sebuah kafe ternama di kota kelahiranku ini. Dari dulu saat aku masih SD hingga aku sekarang menginjak kelas 12, kafe ini tetap dipenuhi oleh banyak orang. Dari berbagai kalangan. Tapi lebih tepatnya lebih banyak dari kalangan kaum pemuda sepertiku ini. Aroma kue dan minuman bersoda akan langsung menusuk indra penciuman kalian saat memasuki kawasan kafe ini.
Bisa dibilang kafe ini adalah kafe favoriteku. Tempat yang lebih sering kukunjungi dari tempat manapun itu. Kecuali rumahku. Aku hampir tiap hari menyempatkan diri untuk bersantai di kafe ini. Entah sekedar makan kue ataupun minum seperti saat ini.
Bahkan pelayan kafe ini sudah sangat hafal dengan diriku.Mereka juga sudah hafal dengan tempat duduk favoriteku. Lantai 2 di sudut kiri dekat dengan sebuah jendela. Aku bisa menatap indahnya dan ramainya kota kelahiranku ini saat malam hari lewat jendela tersebut. Di hadapanku ada sebuah meja berbentuk persegi panjang. Warnanya cokelat tua dengan empat kaki penyangga yang terbuat dari besi dan bewarna mengkilap.
Kafe ini terdiri dari 2 lantai. Lantai pertama dipenuhi oleh tempat duduk untuk para pengunjung. Lantai 1 dan lantai 2 dihubungkan oleh sebuah lift. Sedangkan di lantai 2, ada sebuah panggung untuk live music. Biasanya live music dimulai jam 9 malam. Tak jarang artis bernyayi di kafe ini.
Kafe ini sudah sangat terkenal di kota kelahiranku ini. Tak ada yang tak tahu kafe ini. Kafe yang berdiri sejak aku duduk di bangku SD. Dan masih jaya hingga aku SMA. Aku tak pernah melihat kafe ini sepi. Bahkan pengunjungnya bisa naik 2 kali lipat saat malam hari. Aku bisa melihat perubahan yang terjadi.
Aku sudah duduk di sofa ini sejak jam 6 sore tadi. Di hadapanku ada sebuah gelas kosong dan laptop bewarna hitam. Kini, waktu telah menunjukkan pukul 9 malam. Aku telah menghabiskan waktu 3 jam duduk diam di kafe ini. Aku tak pernah merasa bosan. Bahkan terkadang aku bisa duduk disini hingga larut malam. Seperti jam 11 ataupun 12 malam. Aku tak tahu obat apa yang diberikan oleh kafe ini yang membuatku seperti ini. Aku telah menjadi pecandu di kafe ini. Bahkan terkadang aku mengerjakan tugasku di kafe ini.
Mataku mengalihkan pandanganku dari layar laptopku. Telingaku menangkap suara alunan piano. Aku yakin live music malam ini sudah dimulai. Aku jarang memperhatikan banda yang tengah tampil. Aku biasanya hanya mendengarkan sambil mengerjakan tugasku. Mataku mencari seorang pelayan.
"Mbak." Panggilku kepada seorang pelayang wanita yang kebetulan sedang melintas
"Iya mas, mau memesan lagi?"
"Iya mbak, mini pizza double chesee dan ice lemon tea."
"Baik mas. Silahkan ditunggu."
Aku tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Aku mengernyitkan dahiku. Kenapa yang daritadi kudengar hanya alunan melodi dari piano. Ini jarang terjadi. Biasanya selalu ada yang menyanyi dan menyapa para pengunjung. Ah, aku tak memperdulikannya.
Namun. Ini bagai sihir. Semakin lama aku diam dan mendengarku alunan melodi tersebut, aku semakin hanyut dalam lagunya. Bahkan aku tak menyentuh keyboard laptopku lagi.
Aku menghentikan aktivitasku seketika. Aku hanyut dalam lagu yang dimaikannya. Permainan pianonya sangat bagus. Nada-nadanya lembut dan enak didengar di telinga. Orang yang memainkan piano tersebut berhasil menyihirku. Aku bahkan tak menyadari pesananku telah tiba. Mataku terus kupejamkan sambil mendengarkan aluanan tersebut. Seulas senyuman terukir di bibirku.
Beberapa detik kemudian, ia menyudahi permainan pianonya. Semua orang bertepuk tangan dengan sangat meriah. Aku membuka mataku. Aku juga ikut bertepuk tangan. Inilah pertama kalinya aku memberika applause untuk seorang pengisi live music kafe ini. Entah kenapa rasa penasaran menghantuiku. Aku belum melihat siapa yang berhasil menyihirku sampai seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
keni(A)vara
Teen FictionSeorang gadis mungil, penyuka senyuman, dan orang terapuh yang pernah ditemui Kevin di sebuah kafe. Dia Kenia Avara. Perempuan yang terlalu berani untuk mengambil sebuah keputusan, dan tak pernah memikirkan segala resiko yang dihadapinya.