KA (25)

41 0 1
                                    

Aku terus mempoleskan bedak pada wajahku. Huh. Aku berdecak kesal. Kenapa mata bengakakku tidak tertutupi sih? Padahal aku sudah mengompresnya daritadi pagi. Ini akibat aku menangis semalaman.

Aku tengah bersiap untuk pergi ke rumah sakit, tempat dimana pemuda itu dirawat. Aku sebetulnya belum percaya seratus persen dengan kondisinya. Aku hanya ingin memastikan.

Memastikan? Tunggu. Dalam hal apa nih? Aku hanya ingin memastikan bahwa yang dikatan Aca adalah kebohongan. Aku tak bisa menerima fakta bahwa yang dikatakan Aca adalah sebuah kebenaran. Aku semakin penasaran.

Aca sudah lebih dulu ke rumah sakit. Aku memang berencana sore ini ke rumah sakit. Aku butuh waktu untuk menyakinkan diriku bahwa aku kuat bertemu dengan Kevin.

Aku menyambar tas selempangku. Memakai sepatu converse milikku. Aku langsung bergegas menuju lantai bawah. Taksi yang kupesan sudah menunggu.

Tanpa babibu, aku langsung mengunci pintu rumah dan menaiki taksi yang sudah menunggu daritadi. Supir taksi itu menyapaku dan menanyakan alamat tujuanku. Aku segera menyebutkan salah satu rumah sakit yang ada di kota ini. Supir taksi tersebut tampak mengangguk dan membawaku ke tempat tujuanku.

Kurang lebih 40 menit, kami sudah sampai di depan sebuah rumah sakit. Jalanan kali ini cukup lancar. Aku merogoh tasku dan mengambil sebuah dompet. Aku membayar taksi itu sesuai argo yang tertera. Aku langsung turun.

Kakiku menghampiri meja resepsionis. Pelayan resepsionis tersebut memberi tahu bahwa ruangan Kevin ada di lantai 3.

Aku langsung menggunakan fasilitas lift. Aku berkali-kali menahan nafasku karena mencium bau obat-obatan yang masuk ke indra penciumanku.

Lift menunjukkan angka 3. Aku pun keluar dari lift itu. Entah kenapa firasatku mengatakan semua yang dikatan Aca adalah suatu kebenaran. Aku menatap sekelilingku. Lantai 3 hanya ada ruang ICU.

Mataku menatap Aca yang tengah berbicara pada dokter. Aku ingin menghampiri. Tapi aku mengurungkan niatku. Aku bersembunyi di balik tembok. Suara percakapan mereka masih terdengar di telingaku.

"Jadi gimana keadaan kakak saya, dok?" Tanya Aca sambil terisak

"Kevin mengalami koma. Kondisinya juga kritis. Sangat minim kemungkinannya untuk sembuh."

Benteng yang kubangun sejak tadi siang langsung hancur seketika. Aku menangis. Air mata itu dengan lancar keluar dari mataku. Aku jatuh terduduk.

Pernyataan dokter itu membuat hatiku tertusuk ribuan jarum. Nafasku tercekat. Dadaku sangat amat sesak. Aku mencoba mengambil nafas. Tapi sepertinya rasanya sulit sekali.

Kevin kritis. Dia koma. Ini semua gara-gara aku. Seandainya aku tidak memarahinya. Seandainya aku mendengarkan penjelasannya.

Aku mengacak-ngacak rambutku. Bodoh. Aku sangat bodoh. Aku mencoba untuk berdiri dan mencoba menghampiri Aca yang duduk di ruang tunggu. Ia menangis sendirian.

Aku memeluk gadis itu. Aca tampak kaget namun sedetik kemudian ia langsung membalas memelukku. Kami menangis dalam pelukan itu.

"Maafin kakak, ca. Ini salah aku."

"Ini bukan salah kakak. Ini takdir kak." Ucapnya

"Tapi Kevin pergi gara-gara aku. Coba aku nggak marahin dia, dia pasti nggak akan pergi."

"Semuanya salah kak. Setelah kakak ke kamar, orang tuaku datang kak. Kami memang anak broken home. Dan disitu aku mendengar Kak Kevin adu mulut sama papa. Lalu dia pergi."

Aku berdiri. Aku memutuskan untuk menjenguknya. Ini salah aku. Aku memakai pakaian steril untuk memasuki ruangan ICU.

Mataku menatap orang yang kucintai terbaring lemah disana. Aku tak kuasa menahan air mataku. Ini pertama kalinya Kevin terbaring lemah disini. Mataku rasanya tak kuat memandangnya. Kevin tampak sangat lemah. Semuanya dibantu dengan alat medis. Alat perekam jantung tertera disitu. Aku masih melihat nafas Kevin yang sepertinya teratur.

keni(A)varaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang