KA (8)

106 10 0
                                    

"Aaaaa...."

Aku berteriak sekencang-kencang. Memukul kepalaku agar bayangan itu hilang-hilang. Air mata tak berhenti. Aku menggepalkan tanganku. Aku memarahi hujan. Aku memukul-mukul hujan. Aku tak peduli jika orang-orang menganggapku gila atau apalah itu. Aku takkan peduli. Aku takut. Semua bayangan ibu muncul di otakku. Kenapa harus ibu yang tertabrak? Kenapa ibu menyelematkanku? Aku memegangi dadaku yang terasa sesak. Semua ingatan itu masih sempurna. Aku masih ingat sampai detail-detailnya. Tak ada yang kulupakan. Semua itu begitu indah. Sangat indah. Aku bisa melihat senyuman ibu. Ibu, aku merindukanmu. Aku melempar batu-batu yang ada di sekitarku. Semuanya menyakitkan. Sangat menyakitkan. Tiba-tiba aku melihat sebuah motor mendekat ke arahku. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Mataku memburam karena air hujan. Pengendaranya turun dari motornya. Ia menghampiriku. Aku berusaha melihatnya lebih jelas. Sepertinya aku mengenalinya. Aku mengenalinya. Aku yakin aku tak salah lihat. Radit. Radit membantuku untuk berdiri.

"Kenia."

"Ra-Radit."

Aku memeluk Radit. Aku tak peduli apa reaksi Radit. Ternyata Radit balas memelukku. Aku menumpahkan seluruh air mataku. Tangan Radit mengelus punggungku. Setelah tangisku agak reda, Radit melepaskan pelukannya.

"Lo kenapa, Ken?"

"Hujan. Gue takut. Gue benci." Ucapku sambil sesegukan akibat menangis

Radit membawaku ke sebuah pohon. Kami berteduh disana. Aku menatap Radit. Pemuda ini tulus menolongku.

"Gue ada disamping lo. Peluk gue kapanpun lo mau. Gue bersedia jadi sandaran lo."

"Gue benci hujan, dit."

Aku masih menangis, "Hu-hujan udah bu-buat hidup gue hancur. I-ibu meninggal karena hujan."

Radit sedikit terkejut. Aku tak bisa membendung tangisanku. Radit kembali memelukku. Pelukan hangat itu. Aku bisa merasakannya kembali. Radit mengusap air mataku. Pemuda itu tersenyum. Aku memaksakan untuk tersenyum.

"Gue ka-kangen ibu."

"Kita bisa ziarah sekarang. Lo mau?"

Aku mengangguk. Hujan sudah mulai reda. Radit membawaku menuju sebuah tempat pemakaman. Aku menggandeng tangan Radit menuju sebuah tempat. Tempat yang sudah sangat kuhafal.

Tangisanku pecah saat membaca nama yang terdapat dalam batu nisan itu. Nama ibu. Nama perempuan yang selalu membuatku nyaman. Nama perempuan hebat yang kukenal. Nama perempuan yang selalu ada untukku dalam hal apapun dan dimanapun. Aku terduduk di sebelah nisan ibu. Aku mengusap nisan itu dengan lembut dan kasih sayang. Aku masih mengingat betapa lembutnya suara ibu. Betapa manisnya senyuman ibu. Radit mengusap pundakku. Pemuda ini sangat pengertian. Aku menyenderkan kepalaku di punggungnya.

"Gue sayang ibu, dit. Ibu segalanya buat gue."

"Kenia, liat gue. Gue janji. Gue akan selalu ada buat lo kapanpun dan dimanapun."

Aku tersenyum, "Itu kata-kata ibu yang gue inget. Dan sekarang lo ngucapin itu."

Aku menghapus air mataku. Tersenyum di depan nisan ibu. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat aar tidak menangis lagi. Aku mencium nisan itu dengan penuh kasih sayang.

"I love you mom."

Untuk terakhir kalinya, aku memandangi nisan itu sebelum aku menggandeng Radit untuk pergi. Aku meminta Radit untuk mengantarkanku ke sebuah tempat makan. Aku lapar. Aku ingin makan. Radit menyetujui permintaanku. Dengan motornya, kami menuju sebuah tempat makan. Aku memeluk Radit. Rasanya aku lelah sekali. Aku lapar. Aku tak tahu bagaimana penampilanku sekarang.

keni(A)varaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang