KA (23)

65 4 3
                                    

Aku berlari meninggalkan pesta itu. Salah satu tanganku menenteng sepatu high heels yang tadi kupakai. Aku tidak peduli dengan kakiku yang mulai lecet. Pegal di kaki kurasakan. Tapi aku juga tidak peduli. Air mata sudah dari tadi jatuh di pipiku. Aku tak menghapusnya sama sekali.

Aku tak peduli dengan suasana malam yang sangat mencengkam. Ditambah lagi dengan langit yang tampaknya sangat gelap.

Jika ada orang jahat di sekitarku, biarlah. Aku sudah tidak peduli dengan hidupku. Walaupun ada yang jahat, aku sudah pasrah.

Kata-kata Dina masih kuingat seluruhnya. Tak ada yang kulupakan. Sedikit pun tak ada yang kulupakan. Kata-katanya seakan mengingang di telingaku.

Dasar cewek penggoda.

Dasar cewek murahan.

Asal lo tahu, Kevin cuman kasihan sama lo.

Kevin nggak akan pernah cinta sama lo.

Dadaku rasanya sulit sekali untuk bernafas. Aku terengah-engah. Padahal aku sama sekali tidak berlari. Aku memegangi dadaku. Sakit. Sangat sakit.

"Kenapa aku cinta Kevin? Kenapa aku harus jatuh cinta padanya?" Teriakku sambil memandangi bintang-bintang

Hanya bintang dan bulan yang menemani kesendirianku. Tak ada yang bersamaku. Semuanya sudah terbongkar. Kevin hanya KASIHAN padaku.

Radit memutuskanku. Radit? Pemuda itu. Dia yang membuatku nyaman. Hanya dia yang bisa membuatku tertawa setiap saat. Hanya dia yang bisa membuatku tersenyum.

Tak ada yang bisa membuatku tertawa. Tak ada yang bisa membuatku tersenyum setiap saat. Tak ada yang bisa membuatku sebagai sandaran. Tempat curhatku. Tempat aku mencurahkan seluruh keluh kesahku. Tempat yang bisa kujadikan sandaran setiap saat. Tak ada lagi yang mengerti keadaanku. Semua itu sudah hilang. Hilang tak berbekas.

Hidupku hancur. Semua gara-gara Kevin. Gara-gara pemuda itu. Ia menyuruh Radit menjauhiku. Seandainya Kevin tidak menyuruh Radit. Kuyakini hubunganku dengan Radit pasti masih baik-baik saja. Kevin egois. Pemuda itu egois.

Aku salah menilainya. Sangat salah menilainya bahwa ia telah berubah. Kevin tak pernah berubah sama sekali. Sama sekali. Ia membuatku menjadi menderita dengan menyuruh Radit menjauhiku. Ia membuatku harus kehilangan Radit.

Dia tak mau aku bahagia. Itu pasti yang Kevin ingin dari dulu. Semua kata-katanya adalah kebohongan besar.

Aku benci dia. Aku benci mencintainya. Sangat membencinya. Tanpa sadar aku sudah sampai di depan rumah megah berlantai 2. Aku menyeka air mataku. Aku langsung membuka pintu rumah itu. Aku tahu Kevin sudah pulang dan aku tak memperdulikannya.

"Kenia, akhirnya kamu pulang juga. Kamu tadi kemana? Aku nyariin kamu." Sambut Kevin saat aku melangkah ke dalam rumah

Aku berbalik badan dan menatapnya datar. Aku melihat jelas perubahan wajahnya saat melihat wajahku. Kenapa Kevin? Kaget ya? Ini gara-gara pacar kamu. Aku tahu apa yang sedang Kevin fikirkan. Aku tak berkutik. Hanya diam di tempat. Mencoba untuk menahan emosiku agar tidak meledak.
Tubuhku sudah lelah sekali setelah berjalan kaki.

Aku bisa melihat pergelangan tangan Kevin yang mulai mendekati wajahku. Aku sudah tahu ia akan memegang wajahku dan sudut bibirku yang sobek.

Aku sudah tahu itu semua. Apa yang telah dan akan dilakukan oleh Kevin. Segala tentang dirinya aku tahu. Karena aku bodoh telah mencintainya.

"Jangan sentuh wajah aku." Ucapku tegas dan tak terbantahkan ketika tangannya ingin memegang wajahku

Kevin mengernyitkan dahinya. Ia pasti tak mengerti maksudku. Tapi aku tak akan peduli. Toh dia juga tak pernah peduli denganku bukan? Ia selalu menyakitiku dan tak pernah peduli dengan perasaanku.

keni(A)varaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang