KA (15)

83 10 0
                                    

Brak!

Suara itu sukses membuat kami mengalihkan perhatian. Aku menatap pintu gudang yang terbuka. Salah satu cewek yang ingin memukulku dengan balok kayu dan melemparnya dengan asal.

Aku terbelak. Pemuda itu. Kenapa ia bisa disini? Aku memandanginya. Kelima cewek itu langsung lari dari gudang. Tetapi dicegah oleh Kevin. Iya Kevinlah yang datang. Kevin menatap mereka dengan tajam. Kelimanya langsung menundukkan kepala. Mereka terlihat takut.

"Jangan pernah gangguin Kenia kalau hidup lo nggak mau gue buat berantakan. Bahkan lebih berantakan daripada Kenia sekarang."

Mereka langsung menganggukkan kepala. Tanpa banyak omong, Kevin menghampiriku. Ia membantuku membersihkan seragamku yang kotor akibat debu di gudang.

Aku menatap cowok itu. Kevin mengelus pipiku yang merah akibat tamparan mereka. Aku bisa melihat aura kemarahan yang Kevin tunjukkan. Pemuda itu sangat mudah ditebak suasana hatinya.

Ia menjauhkan tangannya dari pipiku. Rahangnya mengeras. Tangannya terkepal hingga kuku jarinya memutih. Ia seperti menghindari kontak mata denganku. Pemuda ini hanya diam saja. Ia mengecek semua lukaku. Kevin menggeram kesal. Matanya menyilatkan kemarahan.

Aku tak tahu mengapa hatiku senang saat melihat ekspresi khawatir bercampur marah di wajahnya. Kevin memperhatikan sikutku yang terus mengeluarkan darah segar. Ia melepaskan dasiku dari leherku dan mengikatnya pada sikutku yang luka.

"Lo bisa jalan?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Kaki gue sakit."

Kevin membungkuk. Ia mengisyaratkan agar aku naik ke punggungnya. Aku pun mengkuti perintahnya. Kevin menggendongku. Aku mengalungkan tanganku di leher Kevin.

Entah kenapa dadaku berdegup kencang. Ada sebuah kebahagiaan dan kenyamanan yang muncul di hatiku secara tiba-tiba.

Kevin berjalan menuju parkiran mobil. Ia meletakkanku di bangku depan. Aku tak bersuara. Aku tengah berfikir keras. Kenapa Kevin bisa berada di sekolah? Terus kemana Dina? Kenapa cewek itu tak terlihat? Bukankah tadi pagi Kevin masih bersama gadis itu?

"Dina kemana? Bukannya tadi kalian masih bareng?" Tanyaku

"Iya. Gue abis nganter Dina ke apartemennya. Terus gue langsung ke sekolah karena Aca minta gue ke sekolah. Tapi pas gue jalan, gue gak sengaja denger keributan di gudang."

"Terus lo udah ketemu Aca?"

Kevin menggelengkan kepalanya. Aku merasa bersalah. Seharusnya Kevin kan bertemu Aca. Bukan menolongku. Aku sudah merepotkan pemuda ini.

"Lo nemuin Aca aja. Gue bisa sendiri pulang sendiri."

"Urusan Aca tenang aja. Gue akan nganter lo pulang."

"Tapi Aca pasti membutuhkan lo."

Kevin memukul stirnya, "Lo nggak ngeliat gimana keadaan lo sekarang? Lo berantakan. Lo liat luka lo."

Nada suara Kevin mulai meninggi. Aku hanya bisa menutup mataku. Tetapi sesaat kemudian pemuda itu sepertinya sudah bisa mengontrol emosinya.

Kevin mengalihkan pandangannya dariku. Ia melajukan mobilnya. Kevin membawa mobilnya dengan santai.

Aku menggigit bibir bawahku. Sikut dan pipiku masih terasa perih. Aku menundukkan kepalaku. Makin hari aku semakin merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tak tahu apa yang kualami.

Sesampainya di rumah, seperti tai Kevin menggendongku. Ia menurunkanku di kursi tamu. Tanpa berkata apapun, pemuda itu kembali meninggalkanku. Dan ia kembali dengan kotak obat P3K yang sudah berada dalam genggamannya. Kevin duduk di sebelahku. Ia meraih sikutku. Aku perlahan menggerakannya. Rasa perih itu masih terus terasa.

keni(A)varaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang