Aku masih berada di dalam kamar Kenia. Jam terus berdetak dan kini menunjukkan pukul 10 pagi. Gadis ini belum juga tersadar dari mimpinya. Aku berusaha keras menahan kantuk yang daritadi menyerangku.
Aku sudah berkali-kali mengompresnya dengan air hangat. Gadis itu tetap tenang dalam tidurnya. Suhu badannya memang tak setinggi tadi. Mulai turun.
"Ibu. Ibu. Ibu, aku takut."
Aku terbelak. Gadis itu mengigau. Ia terus mengigau tentang ibunya. Mungkin karena efek demamnya.
Aku menatap gadis itu. Tak bisa dipungkiri, Kenia memang cantik. Sama cantiknya dengan namanya. Bulu matanya yang sedikit lentik. Senyumannya yang manis. Wajahnya yang terkadang imut dan menggemaskan. Itu semua tak bisa kupungkiri. Itu memang kenyataanya. Ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang bagus dan tingginya yang memadai. Namun, bagiku Kenia tetaplah Kenia.
Aku belum bisa berpaling. Tepatnya takkan bisa. Hatiku telah dikuasai oleh seorang wanita. Seorang wanita cantik yang telah mengambil hatiku. Dina atau lebih tepatnya Adina Franda. Aku lebih suka memanggil dengan sebutan Dina. Walau ia berkali-kali memintaku untuk memanggilnya Franda. Menurutku, nama Dina lebih sederhana dan tidak ribet.
Aku jatuh hati pada parasnya yang cantik, keramahannya, senyumannya, dan segala tentangnya. Kami bertemu saat Sekolah Menengah Pertama atau SMA. Kala itu aku adalah seorang anggota OSIS. Aku telah menyukai gadis seumuranku itu sejak MOS. Namun, kami lebih sering bertemu saat rapat OSIS karena Dina kebetulan adalah anggota OSIS sama sepertiku. Kami kerap bertemu dan itu membuat aku dan Dina lebih dekat. Kami sering pulang bareng karena rumah kami yang kebetulan searah. Aku juga sering mengajaknya ke tempat-tempat romantis.
Dan tanggal 12 Mei, aku menembaknya. Aku menjatuhkan pilihanku padanya. Ia menerimaku sebagai kekasih hatinya. Kami menjalin hubungan itu hingga tamat SMA. 3 tahun lamanya. Dan kebetulan kami juga masuk di Universitas yang sama, hanya saja di jurusan yang berbeda. Ia lebih suka menggeluti bidang hitung menghitung yaitu akuntasi. Dan aku lebih suka dengan hal yang berbau memanejem. Aku masuk jurusan manajemen bisnis. Kami tetap dekat.
Sampai akhirnya, Dina harus pergi. Ia pergi beribu kilometer. Ia harus mengikuti ayahnya yang ditugaskan di luar negeri. Aku hanya bisa menerima kepergiannya dengan pasrah. Aku tak bisa menahannya. Aku tahu dia anak semata wayang dan orang tuanya sangat menyayanginya. Aca juga sangat kenal baik dengan Dina.
Ini adalah tahun kedua ia pergi. Kami memang menjalani status LDR, tapi itu awalnya. 1 tahun belakangan ia tak pernah bisa dihubungi hingga sekarang. Ia tak pernah memberi kabar. Bahkan aku tak tahu status kami sekarang apa.
Aku tersadar dari lamunanku saat merasakan jari-jari Kenia bergerak. Aku memandangi gadis itu. Matanya perlahan terbuka. Ia memandangi sekitarnya. Aku tersenyum.
"Ken, ini aku."
Kenia memutar bola matanya. Ia menatapku sambil menggelengkan kepala. Ia bergeser seperti ingin menjauh dariku.
Aku ingin mendekat. Tetapi aku tahu, Kenia akan menjauh. Maka aku tak melakukan apapun. Ia tak menangis. Hanya diam. Raut wajahnya datar dan pucat. Bibirnya putih kering. Ia memeluk tubuhnya sendiri.
"Maafin gue, Ken."
Kenia masih tak merespon. Ia tetap diam dan tak bersuara. Namun, tanpa ia bicara, aku sudah tahu bahwa ia takut denganku. Aku harus bagaiamana? Apa yang harus kulakukan?
"Ken, gue gak akan bentak lo lagi. Gue janji." Ucapku sambil menyodorkan jari kelingkingku sebagai tanda perjanjian
Kenia menatap jari kelingkingku. Ia tak bersuara. Jari kelingkingnya perlahan mendekati jari kelingkingku dan dalam hitungan detik jari kami saling bertemu. Aku membentuk senyuman. Gadis itu tersenyum. Kenia mendekatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
keni(A)vara
Dla nastolatkówSeorang gadis mungil, penyuka senyuman, dan orang terapuh yang pernah ditemui Kevin di sebuah kafe. Dia Kenia Avara. Perempuan yang terlalu berani untuk mengambil sebuah keputusan, dan tak pernah memikirkan segala resiko yang dihadapinya.