B A B 2

6.1K 507 25
                                    

|| 2 ||
K e h i d u p a n S e o r a n g
S e a n

------

What you see is not always the truth, and what you hear are not always lies.

------

Jam weker berbunyi dengan keras, membangunkan pemiliknya yang masih setia bergelung dengan ranjang yang empuk dan hangat. Seakan belum cukup mengganggu, weker itu tetap berbunyi selama lima menit ke depan, membuat lelaki itu, Sean, berguling-guling dan terjatuh dari ranjangnya karena berusaha meraih tombol untuk mematikan wekernya. Hilang sudah perasaan hangat yang tadinya melekat karena dirinya yang memakai kaos ketat dan celana pendek sudah terjerembab dalam posisi terlentang di atas lantai yang dingin.

"Dasar," umpatnya, lalu menekan sebuah tombol kecil di atas jam weker, membuat benda itu akhirnya diam.

Dia masih merasakan tarikan itu, tarikan maut yang berasal dari ranjangnya. Sebuah godaan untuk kembali meletakkan badannya di atasnya, menutup mata dan berlayar kembali ke dunia mimpi.

Tapi, dirinya masih cukup waras dan dapat menahan diri karena dia mengingat jika dia mengikuti kemauan alam bawah sadarnya, siapa yang tahu jam berapa lagi dia akan bangun, dan, yang paling penting, dia pasti akan telat.

Masih dengan langkah terseret-seret karena hati yang tak rela, Sean berjalan ke arah kamar mandi di kamarnya yang bernuansa biru tua campur hitam, memberikan kesan gelap pada siapapun yang memasuki kamarnya.

Setelah membasuh dirinya, dia pun memakai baju sekolahnya yang berwarna putih abu-abu, dan mulai merapikan penampilannya.

Diraihnya tas sekolah denim miliknya, keluar dari kamar, dan turun ke lantai satu di mana dia menemukan ibunya yang sedang mengatur meja makan. Terdapat cukup banyak lauk hari ini, yang membuat lelaki itu sedikit lebih bersemangat.

"Morning, Mom. Dad mana? Belum bangun?"

Ibunya tersenyum hangat, lalu memeluk anak lelaki satu-satunya itu erat. "Dad tadi ada panggilan mendadak dari kantor, jadi dia udah pergi dari tadi." jawab ibunya, lalu tersenyum kecil.

Sean mengangguk mengerti. Diambilnya nasi dan lauk, lalu menunggu ibunya. Seraya menyantap sarapan, mereka cukup banyak berbincang tentang hal-hal menarik.

"Mom, Sean berangkat dulu ya. Mom hati-hati di rumah," pamit Sean, sambil mencium kedua pipi ibunya.

Ibunya balas mencium kening Sean, dan mengantarkan anaknya itu ke pintu depan rumah mereka yang dicat berwarna coklat tua. Lelaki itu menaiki mobil sedan hitam milik Ayahnya yang diberikan padanya, dan memacu mobilnya meninggalkan pekarangan rumah mereka sambil balas melambai kecil pada ibunya.

Sean Klaverian Robb, putra tunggal Kirstan Vierzo Robb, seorang lelaki dengan campuran Italia dan Indonesia dalam darahnya. Ayahnya adalah seorang pekerja kantoran menurut yang dikatakan oleh Ibunya, tapi tentang perusahaan di mana dia bekerja, bahkan Sean sendiri tidak tahu. Kedua orangtuanya seperti menutupi hal itu darinya.

Lelaki itu menghela nafas, dan melirik jam di dasbor mobil. Dia masih memiliki waktu 30 menit untuk mencapai sekolah, dan dia tak ingin terlalu cepat datang. Maka, dia memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah warung kaki lima yang menjual pecel lele paling enak—menurutnya. Memiliki darah Italia tak membuatnya melupakan rasa khas makanan Indonesia.

"Mang, pecel lelenya dua ya, dibungkus!" serunya pada sang penjual, Mang Udin, yang dibalas dengan sebuah sahutan dan anggukan.

Dia menunggu di sebuah meja tak begitu jauh dari tempat Mang Udin membuat pesanan pecel lele miliknya. Beruntungnya Sean, warung ini belum begitu ramai karena masih jam setengah tujuh pagi.

AtelophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang