B A B 2 4

1.3K 133 5
                                    

||24||
I n c o m i n g

------

To live in reality is hard, but escaping reality is far harder.

------

"Bagaimana kabarmu, Sean? Sudah ada kontak dengan orangtuamu?" tanya Naya seraya menuangkan teh panas ke dalam cangkir berwarna putih di hadapannya. "Gulanya ambil sendiri ya," ucapnya lagi sembari menyodorkan gelas tadi kepada Sean lalu duduk di seberangnya.

Sean tersenyum kecil. "Makasih, Tante." Seraya mengaduk dua sendok gula dalam gelas, lelaki itu kemudian menjawab pertanyaan yang diutarakan oleh Naya. "Nggak ada yang menghubungi saya, Tan. Nggak mungkin mereka nggak nyadar kalo saya nggak pulang semalam,"

"Mungkin kamu lebih baik pulang saja, nggak baik kalau kamu lari dari masalah, nggak akan menyelesaikan semuanya."

Lelaki itu menatap cangkir berwarna putihnya yang setengah kosong. Dia oh-sangat-berharap bahwa ayahnya sedang tugas ke luar negeri, karena setahunya ayahnya membuka ruangan yang selalu ditutup dan hanya dibuka jika dia akan bepergian.

Kemunculan Bella di ruang makan mengalihkan perhatian Sean. Tubuhnya yang semakin kurus dengan santai berlalu di hadapan Sean. Naya yang menyadari hal itu tertawa kecil dalam hati. "Dea, ayo bergabung dengan kami."

Gadis itu sedang melahap sehelai roti tawar yang diolesi dengan selai kacang, serta memegang segelas teh manis hangat. "Lo anggap itu sarapan?" komentar Sean saat Bella akhirnya duduk di sebelah tantenya.

"Suka-suka gue dong, gue mau makan apa sih itu terserah gue," balas Bella seraya mengunyah rotinya.

Sean menggelengkan kepalanya. Kayanya baru tadi dia terbuka sama gue, sekarang udah gini lagi, batinnya. "Lo mau suka-suka ya di hutan aja sana,"

Mata gadis itu membola, menatap Sean tajam. "Kalo gitu berarti semalam lo udah nginap di hutan. Selamat ya," ucap Bella sarkas seraya menaruh gelas yang isinya sudah habis ke dalan wastafel. "Dea balik ke kamar, Tan. Mau siap-siap. Sesi berikutnya kan nanti sore." lanjutnya singkat lalu menghilang ke lantai dua.

"Sesi?" gumam Sean bingung.

Naya tersenyum kecil. "Semacam pengobatan, Sean. Kamu tau kan penyakit Bella apa?"

Lelaki itu menggeleng. "Sayangnya saya nggak tau, Tan. Bella nggak pernah ngasih tau, dan saya merasa nggak enak kalo nanya,"

Wanita paruh baya itu menarik bibirnya menjadi sebuah garis datar. Matanya mulai berkaca-kaca, dan seketika perasaan bersalah mulai melingkupi Sean. Seharusnya gue nggak perlu nanya, gue nggak perlu ikut campur masalah keluarga mereka, dasar bodoh, umpatnya dalam hati.

"Tante kalo nggak kuat, nggak usah dijelaskan. Saya puas kalo memang saya nggak perlu tau, saya ngerti posisi saya di sini sebagai siapa," ucap Sean mencoba menghentikan keadaan sebelum semakin buruk.

Naya menggeleng pelan, lalu meraih pundak Sean dan menepuknya. "Kamu laki-laki yang baik, Sean. Tante tahu, kamu punya perasaan khusus untuk Dea, dan Tante memutuskan bahwa kamu harus tahu semuanya, karena hanya kamu yang bisa menyemangati dia," balas wanita itu dengan suara pelan.

AtelophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang