B A B 7

3.2K 321 9
                                    

||7||
K n o w n

------

There's no secret you can keep for too long.

------

Gading menatap keponakannya yang sedang tertidur dengan tenang karena efek obat tidur yang diberikan tenaga medis. Wajahnya pucat, seakan lelaki paruh baya itu masih bisa melihat kepanikan batin yang dirasakan gadis itu beberapa jam lalu.

Dielusnya rambut halus milik gadis itu, yang sudah dirawatnya sejak bayi, sejak dia melihat kedua orang tua gadis itu—kakak lelaki dan kakak iparnya meregang nyawa di hadapannya, tepat di depan matanya. Kejadian itu tak kunjung hilang dari ingatannya, dan selalu muncul, apalagi saat dia menatap keponakan perempuannya.

Meskipun sudah 16 tahun berselang, dia masih membenci dirinya sendiri karena memperbolehkan kakak lelakinya dan istrinya menaiki mobil terkutuk itu. Mobil yang sama yang menyebabkan kehilangan permanen dalam diri Bella dan Nino.

"Gading," Satu tepukan dan panggilan dari istrinya, Naya, menyadarkannya dari lamunan panjang akan masa lalu.

Dia mengerjapkan mata, lalu tersenyum samar dan menatap istrinya yang balas menatapnya khawatir. Sebagai seorang istri, tentu Naya tahu apa yang dipikirkan suaminya saat menatap keponakan mereka. Kedua orangtuanya.

"Itu bukan salahmu, Gading. Tak ada yang tahu kalau mobil itu disabotase, jangan terus menerus menyalahkan dirimu. Sudah 16 tahun berlalu, dan sekarang Bella menderita penyakit mental, sebaiknya kita memfokuskan diri pada masa depannya.

"Bella memang bukan anak kandungku, tapi aku mencintainya dan dia sudah kuanggap anakku sejak kamu membawanya dalam balutan kain ke rumah, bersama Nino yang berwajah sembab. Aku tak pernah menyangka bahwa kakak ipar akan pergi secepat itu—tapi aku menganggap kedua anaknya sebagai anugrah dari Tuhan yang disalurkan melalui cara lain—karena aku mengerti penyakitku, aku tak bisa mempunyai anak, Gading.

"Tak ada yang perlu disesali lagi, mungkin sudah takdir bagi kita untuk memikul tanggung jawab ini." Naya berjalan mendekati Bella, dan mengecup pipi gadis itu.

Gading menatap istrinya terperangah. Naya jarang berbicara sepanjang itu, tetapi dia sangat tahu bahwa istrinya itu memang sangat bijak. Dia tersenyum miris, lalu memanggil istrinya pelan. Dipeluknya wanita itu dan mengecup kepalanya.

"Gading, aku ingin bertanya, karena ada sesuatu yang membuatku agak penasaran."

Dalam diam, Gading menatap istrinya dan mengangguk.

Naya menelan ludahnya gugup. "Apakah kakak ipar—kak Benhur, maksudku—punya fobia juga?" tanyanya dengan suara pelan. "Karena setahuku fobia lebih banyak terjadi jika salah satu dari kedua orangtuanya juga mempunyai penyakit itu.. Meskipun ada faktor lingkungan juga sih,"

Karena pertanyaan istrinya, Gading memaksa dirinya kembali ke masa lalu, mengingat-ingat sosok kakak lelakinya yang memang lebih unggul darinya di segi apapun. Benhur Tandeo—yang setahu adiknya, Gading Putrama, tak pernah terlihat cacat dalam bidang apapun.

Lelaki itu pun menggeleng pelan sebagai jawaban untuk istrinya. Walau ragu, Naya balas mengangguk.

Terdengar suara pintu ruang gawat darurat itu terbuka. Tak lama kemudian, tirai yang menutupi mereka tersibak, dan tampaklah wajah keponakan lelaki mereka, Nino.

"Om Gading, Tante Naya, kata suster tadi Dea udah bisa dibawa ke ruangannya, sebelum dia ikut tes besok."

Mereka bertiga pun mengalihkan perhatian pada gadis yang masih tertidur, lalu kedua orangtua angkat Bella dan Nino itupun beranjak dari tempatnya. Seorang suster kemudian masuk dan mulai memindahkan ranjang Bella.

AtelophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang