||19||
H e s i t a t i o n------
In life, you can't be the only one winning.
------
"Hoi, Dea!"
Gadis itu menolehkan kepalanya ke sumber suara, dan mendapati seorang gadis manis yang berperawakan cukup tinggi—setidaknya lebih tinggi dari dirinya—sedang melambai. Bella tersenyum, lalu mendatanginya. "Kenapa, Sit?"
Sita—gadis yang juga keturunan Kaukasian, yah, menurut ceritanya. Ayahnya mempunyai darah Inggris, yang membuatnya setidaknya seperempat Kaukasian.
"Akhir-akhir ini kok Stefan jarang masuk, sih?" tanyanya. Dahi Bella berkerut bingung saat dia melihat binar penasaran yang aneh di mata coklat terang milik Sita. Namun karena tak ingin berpikiran negatif terhadap seseorang, dia menepis tanda tanya itu jauh-jauh darinya.
Ia tersenyum. "Katanya sih dia lagi sakit. Gue juga bingung kenapa anak itu bisa sakit deh," jawab Bella seraya tertawa geli. Dia masih ingat bagaimana Stefan selalu menjagokan fisiknya hanya karena dia pernah melewati beberapa musim dingin di luar negeri. Terkadang memang terdengar menyebalkan, tetapi Bella selalu berusaha menganggapnya lucu.
"Yakin tuh dia sakit, De? Gue sih nggak yakin," timpal Sita. Kali ini wajah Bella tak berubah banyak, ia masih tersenyum. Tetapi jauh dalam lubuk hatinya, dia merasakan sebuah firasat yang sungguh-sungguh mencoba menenggelamkannya. Perutnya seperti dipelintir oleh sesuatu yang sangat kuat.
Entah memang Bella yang terlalu pandai meleburkan dirinya dalam situasi, atau mungkin Sita yang terlalu bodoh untuk tidak menyadari perubahan aura yang dipancarkan lawan bicaranya. "Pokoknya dia bilang gitu sama gue, dan gue percaya sama Stefan." balas Bella yakin. Ia melirik jam tangannya. "Gue mau ke kelas dulu ya, udah mau bel nih. Dah, Sit."
Bella melambai ringan, seakan dia hanya menggerakkan tangannya dengan malas, lalu berlalu. Dia tak ingin berlama-lama bersama gadis yang matanya memancarkan sorot kerinduan dan kekaguman yang mendalam saat membicarakan Stefan. Lelaki itu adalah pacarnya, dan malang bagi Sita, Bella adalah seseorang yang sangat posesif.
Saraf-saraf di otaknya dengan cepat memproses situasi yang ada, dan menghubungkan segala jenis kemungkinan yang bisa terjadi.
Anggap saja ini intuisi wanita yang berlebihan, tetapi mungkin kini Bella tak bisa memandang Sita sebagai gadis yang berniat baik kepadanya. Mulai saat itu, Sita resmi menjadi rivalnya.
//\\
"Stef, kok gak dateng ke sekolah dari kemarin? Beneran sakit ya?" tanya Bella seraya menyelonjorkan kakinya di atas sofa. Matanya memperhatikan ukiran-ukiran di langit-langit ruang tamu rumahnya.
Lelaki itu terbatuk di ujung sana, lalu dia berdeham kecil. "Iya, maaf ya. Harusnya aku nemenin kamu, aku tau."
Suaranya terdengar sendu, seakan terdapat kesedihan yang sedang mengoyak-ngoyak jiwanya dari dalam, dibarengi dengan tekad sekuat baja untuk menutupinya. Bella sempat tercekat sebentar, tetapi tersenyum kecil. "Nggak apa-apa kok. Kamu istirahat yang banyak, jangan bandel kalo dinasihatin."
"Iya, sayang," jawab Stefan, yang membuat Bella terkekeh ringan.
Gadis itu terdiam sesaat, tetapi tangannya gelisah dan terus menerus memelintir ujung kaos yang dipakainya. Gelombang ketakutan seakan memenuhi dirinya, matanya yang bening memancarkan kengerian mendalam yang entah kenapa terlihat menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atelophobia
Teen FictionMasa lalu Bella terdiri dari luka dan kebohongan. Masa kini Bella terdiri dari penarikan diri dan kebohongan. Ada dua hal yang selalu muncul dalam kehidupannya-kebohongan. Setelah semua itu, siapa yang bisa menjamin kalau masa depan Bella tidak lagi...