B A B 2 2

1.9K 156 5
                                        

||22||
C h a n c e
&
O p p o r t u n i t y

------

In the end, we only regret the chances we didn't take.

------

Derap langkah kaki yang menggema di sepanjang koridor memenuhi pendengaran Sean. Kalimat demi kalimat berlarian di dalam kepalanya, siap untuk dimuntahkan, tetapi tak ada satupun yang berhasil keluar dari bibirnya.

Tempat itu sangat sepi, para murid sedang mendekam di kelas masing-masing, dengan guru setiap pelajaran di depan kelas. Entah mereka mendengarkan atau tidak, tak ada yang tahu.

Sean seperti biasa, memilih untuk bolos. Dia tahu posisi dan citranya sebagai ketua kelas bisa terancam karena kebiasaan buruknya yang baru dimulainya awal tahun ajaran ini, tetapi dia tidak peduli. Yang ada di pikirannya sekarang satu, memanggil sahabatnya untuk menjalankan rencananya.

Saat sampai di pintu kelas, lelaki itu menarik nafas dalam-dalam, lalu mengetuk. Sekali. Dua kali, dan membuka pintu agar dia bisa dengan leluasa berbicara dengan guru pelajaran mereka.

"Permisi."

Yang menyambutnya keheningan. Di depan kelas, wakil kepala sekolah mereka, Pak Fathir, menatap para siswa seraya berpangku tangan. Dengan tatapannya yang tajam, dia melirik Sean. "Dari mana saja kamu?" tanyanya dengan suara rendah penuh otoritas.

"Dari luar, Pak." jawab Sean dangkal, malas berdebat. Ia melirik sahabatnya yang duduk diam di dekat tempat duduknya yang kosong, sedikit berharap dia mempunyai kekuatan agar bisa bertelepati dengannya.

Pak Fathir membenarkan letak kacamatanya yang sedikit turun, dan masih terus menatap Sean dengan tajam. "Kamu pikir ini sudah jam berapa? Seharusnya kamu sudah di kelas! Kamu ketua kelas, 'kan, Sean? Tidak ada urusan yang mengharuskan kamu untuk keluar dari kelas di jam ini!" Teriakannya menggema hingga ke sudut-sudut kelas, dan teman-teman sekelas Sean semua bergeming.

Lelaki yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah mereka ini, memang mengurusi bagian kesiswaan. Tampangnya yang menyeramkan mengintimidasi banyak siswa, dan merupakan sebuah poin tambahan untuk pekerjaannya.

Sean menelan ludahnya dengan susah payah, tahu bahwa perkataannya selanjutnya akan menghancurkan citranya di sekolah ini. Tentu juga, akan membuat ayahnya marah terhadapnya.

Ingatkan lagi, apakah dia masih peduli?

"Saya tidak merasa bahwa penting bagi saya untuk berada di dalam kelas ini, jadi, bukankah itu normal jika saya keluar?" ucapnya datar. Teman sekelasnya menatap Sean dengan tatapan tidak percaya, seakan-akan lelaki itu baru bercerita bahwa dia melihat manusia yang mempunyai sepuluh kepala.

Mata Pak Fathir bersinar penuh amarah. "Keluar kamu dari sini! Kamu saya skors tiga hari!"

Kata-kata itu menghantam Sean, tetapi tak menggentarkan niatnya. Dia lalu berjalan untuk mengambil tasnya, dan mengetuk meja Andra beberapa kali sebagai isyarat. Sean menepuk saku celananya yang berisi ponsel, agar Andra mengerti bahwa lelaki itu perlu berkomunikasi.

Tanpa banyak kata-kata yang berarti selain teriakan milik Pak Fathir, Sean pun keluar dari kelasnya.

//\\

AtelophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang