B A B 2 1

1.8K 159 4
                                    

||21||
D e a t h b e l l

------

The past is in the past, you can't force what happens in the past to be changed. For it makes the future as it is.

------

Matanya membuka perlahan, lalu menyesuaikan diri dengan cahaya yang tiba-tiba membanjiri penglihatannya. Beberapa detik kemudian, dia pun beranjak dari kasur yang empuk, meninggalkan selimut serta seprai yang kusut, dan berlalu ke kamar mandi.

Bella menggosok giginya secara perlahan, seraya memperhatikan wajahnya yang semakin pucat dan tirus di kaca yang tergantung di depannya. Matanya cekung ke dalam, dan kantong-kantong matanya mulai menggelap dan menggantung secara nyata di bawah matanya. Singkat cerita, dia benar-benar tampak seperti mayat hidup.

Pikirannya masih melayang-layang seputar sesi pertamanya bersama dengan psikiater bernama Milenia yang terjadi tempo hari. Pada awalnya, dia masih bersikap biasa saja. Namun lama kelamaan, dia tak lagi sanggup melanjutkannya.

Gadis itu menghembuskan nafas pelan, lalu beranjak untuk membersihkan dirinya lebih jauh. Berharap kesegaran yang didapatkannya setelah membasuh tubuh dapat juga ditularkan ke pikirannya.

Segera setelah selesai berpakaian, Bella mematut dirinya dengan perlahan di depan cermin. Mengaplikasikan concealer agar kantung matanya tak begitu terlihat dan tertutupi dengan cara yang hampir alami.

Dia kembali memperhatikan dirinya di depan cermin. Cermin tinggi yang memantulkan tubuhnya secara sempurna. Bentuk tubuhnya kini semakin kurus dan terlihat menyedihkan. Rambutnya yang tergerai dengan kusut tampak kusam dan sedikit lepek. Juga matanya yang terlihat kosong, tak memiliki emosi.

Entah bagaimana, tetapi beberapa hari mengurung diri di kamar dan memikirkan hal-hal yang sudah lama ditutup rapat-rapat sepertinya memang memiliki efek yang cukup besar untuknya saat ini.

Dengan asal-asalan, dia menguncir rambutnya di belakang, untuk menutupi kekusamannya, lalu beranjak dari kamarnya dan turun ke lantai satu, di mana Naya sudah menunggunya.

"Sudah lebih bersemangat hari ini?" tanya Naya lembut seraya memperhatikan keponakannya itu.

Bella memaksakan sebuah cengiran di wajahnya. Dia sangat enggan untuk merespon apapun yang dikatakan oleh Tantenya tetapi dia merasa bersalah jika melakukannya. Maka dengan setengah hati dia menjawab, "Mungkin."

Senyuman di wajah Naya sedikit memudar, tetapi lekukan itu masih berada di situ, berhasil menembus keheningan yang mereka alami sampai mereka mulai melahap makanan mereka.

"Nino sangat khawatir, De. Kamu terlalu lama mengurung diri," ucap Naya memulai pembicaraan.

Dalam hati, Bella tertawa miris. Kalau kakak emang khawatir sama gue, seharusnya dia nyoba buat nenangin gue, bukan malah sibuk dan nggak pernah ada di rumah, batinnya.

Sebagai respon terhadap Tantenya, dia hanya mengangguk kecil seraya bergumam. Berusaha menganggap apa yang dikatakan Naya sebagai angin lalu.

"Dea, kamu jangan mogok bicara sama Tante, dong,"

Dia menggeleng, seraya tersenyum tipis. Bibirnya mengatup rapat, enggan berpisah untuk mengeluarkan suara.

Selang beberapa lama, Bella meletakkan sendoknya dengan pelan, lalu menatap Naya. "Tante, apa yang Tante tau tentang Papa?" tanyanya dengan suara bergetar.

Naya terdiam. Sesungguhnya dia tak pernah tahu terlalu banyak mengenai kakak iparnya itu. Benhur merupakan orang yang cukup tertutup, maka dengan statusnya sebagai istri Gading, dia tak bisa berbuat banyak dalam menjawab pertanyaan ini. Ia bahkan ragu Gading sendiri bisa memberikan jawaban yang memuaskan.

"Tante nggak tau banyak, sayang."

Bella kemudian memalingkan kepalanya. Berusaha menelan kekecewaan itu bulat-bulat. Bahwa tak banyak orang yang memahami ayahnya.

"Kenapa dengan Papa kamu, Dea?"

Hidung Bella memerah, dan tampak mencolok di tengah-tengah kulitnya yang putih pucat. "Dea mau ketemu sama Papa dan Mama," bisiknya.

Pikirannya kemudian menampilkan foto pernikahan ayah dan ibunya yang sempat dia lihat beberapa waktu yang lalu. Membayangkan wajah mereka jika saat ini keduanya berdiri di hadapannya. Mencoba menciptakan sedikit kerutan tanda penuaan, dan mencoba mematrinya dalam ingatan.

"Kamu nggak bisa—"

Bunyi bel menginterupsi percakapan mereka, dan sekaligus membuat Naya bingung seraya melirik jam dinding, yang menunjukkan pukul 9 pagi.

Siapa yang bertamu di pagi yang seharusnya sibuk ini?

//\\

hello guys:(

sorry baru sempet update, dan nggak ikutin jadwal.
sempet nge-down karena beberapa hal tapi aku udah dapet semangat baru buat ngelanjut cerita ini.

makasih buat kalian yang bisa ngebuat cerita ini tembus 2.6k votes; much love!💓

thankyou for the support, see u in the next update!

salam emesh,
s.a.
{ 4 September 2016, 10.23 p.m. }

AtelophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang