Pagi ini Brad masuk rumah sakit, dia mengalami muntah darah, wajahnya yang sangat pucat dan tubuhnya yang sangat lemah. Aku yang mengetahuinya duluan segera membopongnya ke mobil dan Kelvin mengemudikannya ke Samantha Hospital. Air mataku tidak berhenti-berhenti keluar dari mengantar Brad tadi sampai sekarang menunggunya diluar ruangan. Brad sedang ditangani oleh Tim medis di dalam. Aku duduk dengan mata dan pipi yang basah, rambut yang keluar-keluar dari ikatan kunciran, dan masih mengenakan pijama. Aku menghiraukan pandangan orang-orang yang melihatku. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah Brad. Aku sudah mengirim pesan kepada mama, papa dan Justin. Aku juga mengirimkan pesan kepada orang tuanya Brad.
Aku belum pernah bilang kepada kalian bagaimana orang tuanya Brad, kan? Mereka tinggal di Australia. Brad kesini karena Brad membujuk orang tuanya, tetapi mereka tidak bisa karena pekerjaan mereka. Jadi Brad pindah ke California dan tinggal di rumahku.
Aku melihat Justin datang kearahku. Dia berlari di lorong hingga dia duduk disampingku. Aku langsung memeluknya. Menangis di pundaknya, membasahi bajunya. Justin memelukku erat dan mencium rambutku.
"It's okay, baby. He's alright, everything's alright." Ujarnya, tangannya mengusap punggungku.
"I can't lose him, Justin, I can't." Tangisku makin menjadi. "He was my childhood, my best friend, my brother. Dia selalu berada disanan ketika aku jatuh, ketika aku sedih, ketika aku kacau. Tapi aku tidak, aku teman yang bodoh."
"Hey, don't say that. It's not true."
"Yes it is!"
"Listen to me, kau hanya perlu ber do'a, dan berpikir kalau dia baik-baik saja dan semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu disalahkan, karena itu memang sudah takdir dari Tuhan." Aku memeluknya lebih erat dan mengangguk. Aku menenggelamkan kepalaku di tengkuk lehernya dan memejamkan mataku. Ber do'a kepada Tuhan semoga Brad baik-baik saja. He's alright, he's okay, everything's alright.
"Accross the ocean, accross the sea, starting to forget the way you look at me now.." Justin bernyanyi lagu be alright, lagu kesukaanku. Aku pernah bilang kepadanya kan kalau aku suka lagu itu. Suaranya dan lagunya sangat menenangkan. Nafasku mulai menenang.
"I know it's hard babe, to sleep at night, don't you worry, 'cause everything's gonna be alright.."
Lama-lama, mataku terpejam dan aku mulai tertidur di pundaknya.
****
"Baby, wake up." Aku membuka mataku ketika mendengar suara Justin membangunkanku.
"Dokternya sudah keluar." Ujarnya. Aku langsung bangun. Aku melihat dokter laki-laki muda melepas maskernya dan sarung tangannya sambil berjalan kearah kami. Aku berdiri, disusul dengan Justin.
"Bagaimana dengannya?" Tanyaku ketika dokternya sudah dihadapan kami.
Dia menatapku dari atas kebawah. Tangan Justin memeluk pinggangku dan meremas nya. Tatapannya dingin kepada dokter itu. Aku memutar mataku.
"Oh um... Saya dokter Jake." Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menjabatnya.
"Oh dokter Jake, aku Vanilla"
"Oh kau yang menelephone ku waktu itu?" Tanyanya, aku mengangguk. Lalu dokter Jake berjabat tangan dengan Justin.
"Jake."
"Justin." Dia membalas dingin.
"Jadi bagaimana keadaannya?" Aku langsung bertanya.
"Oh ini sangat menakjubkan. Obat nya mulai berkerja pada tubuhnya. Hal buruk yang terjadi pagi ini adalah reaksi obat terhadap tubuhnya yang telah diberikan sebelum-sebelumnya mulai bekerja. Sebelumnya saya pikir treatment dan segala macam yang saya berikan untuknya tidak akan bekerja, tetapi ini berhasil! Selamat."
"Oh my god–" aku menutup mulutku. Air mata memenuhi mataku. Oh my god, terimakasih Tuhan. Aku memeluk Justin dengan semangat. YaTuhan, terimakasih.
"Apa dia sudah boleh dilihat?" Tanya Justin
"Tentu boleh. Jika tidak ada yang ditanyakan lagi, saya permisi dulu."
"Terimakasih dok." Ujarku, dia mengangguk dan pergi meninggalkan ku bersama Justin.
"Kau menelephonenya?"
"Aku memastikan Brad sewaktu aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya." Justin mengangguk.
"Ayo ke dalam." Ajak Justin dan aku mengangguk. Kami berdua masuk keruangan Brad.
Justin Bieber's POV
Aku melihat Brad terbaring di kasurnya. Wajahnya masih pucat, tetapi tidak sekacau seperti biasanya. Dia tersenyum ketika melihat kami masuk.
"Hi bud." Sapaku
"Hi Justin." Sapanya balik. Vanilla langsung berdiri disampingnya dan memeluknya. Lalu berdiri lagi dan memukul tangannya.
"Ouch! What was that for?" Tanya Brad mengusap tangannya.
"Kau membuatku panik, bodoh!"
"Sorry, sepertinya aku punya dua nyawa." Ujarnya. Kami tertawa.
"Uh, Van, bisakah kau membelikanku minuman?" Pintanya.
"Uh... Okay?" Vanilla jalan keluar ruangan dan menutup pintunya. Tinggal aku dan Brad di ruangan. Dia melihat ke pintu dan kearahku.
"Apa kau benar-benar mencintainya?"
"Ya, aku mencintainya."
"Tunggu apa lagi?"
Aku mengerutkan kening. Aku menunggu apa?
"What are you waiting for? Nikahi dia." Ujarnya ketika menyadari aku bingung.
"What?"
"Kau mendengarku kan?"
"Ya, aku mendengarmu, tetapi... Menikah? Apa tidak terlalu cepat?"
"Apa harus lama?"
Aku berpikir. Brad benar. Aku menunggu apa? Tetapi bagaimana jika Vanilla tidak mau? Bagaimana jika Vanilla tidak suka?
"She'll love it, trust me." Ujarnya seperti membaca pikiranku.
"Okay... Akan ku coba." Brad tersenyum mendengarku.
"Justin?"
"Yeah?"
"Promise me something."
"What?"
"Don't wait."
****
SO THAT'S CHAPTER 29!
RENCANANYA CHAPTER SELANJUTNYA ITU BAKALAN CHAPTER SELANJUTNYA BAKALAN JADI CHAPTER TERAKHIR.
BUT...
CHAPTER SELANJUTNYA BAKALAN JADI CHAPTER TERAKHIR KALO GUE BIKIN SEQUEL.
NAH, INI YANG GUE MAU TANYAIN KE KALIAN.
SETUJU GAK KALO GUE BIKIN SEQUEL? AND OF COURSE IT'LL BE MORE... SEX IN THERE. DAN MISALNYA KALIAN SETUJU, GUE USAHAIN BUAT LEBIH SERU LMAO.
TAPI TERGANTUNG KALIAN SIH, SETUJU APA ENGGAK? COMMENT YAAA.
THANKS FOR VOTE AND COMMENT. YOU GUYS ARE AMAZING! LOVE YOU😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Does He Love Me?
FanfictionJustin tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk meng-kontrol emosinya. Dia melampiaskan emosinya dengan mencium gadis yang sebelumnya nerdy tampak memukau saat prom night. Vanilla dan Justin menjalin hubungan palsu untuk mempertahankan reputasi J...