Vanilla Vanderhill's POV
Aku mendorong kursi roda Brad dengan dia duduk dikursi nya. Kami sudah sampai dirumahku. Brad sudah seminggu dirawat dan sekarang diperbolehkan pulang. Membuka pintu rumah, aku mendorong kursi nya masuk lalu menutup pintu.
"Kenapa gelap?" Tanyaku.
"Aku tidak tahu, coba kau kebelakang rumah, lihat listriknya." Jawab Brad. Aku mengangguk.
"Kau tidak apa-apa ku tinggal sendiri disini?"
"Tidak apa-apa, cepatlah, hari sudah mulai gelap."
Aku keluar rumah dan berjalan kebelakang rumahku. Well, sudah gelap. Sekarang sekitar jam 6 PM. Aku sedikit takut, tapi aku harus menghidupkan listriknya. Aku menemukannya. Cukup tinggi untukku karena aku pendek. Aku berjinjit dan tangan kiriku memegang tembok untuk menyanggah tubuhku, sementara tangan kananku berusaha menaikkan listriknya.
Tiba-tiba kepalaku ditutup kain hitam, aku tidak bisa melihat apa-apa. Tubuhku diangkat oleh seseorang, dengan tangan kekar yang mendekap tubuhku. Aku berteriak, tetapi orang itu membekap mulutku. Jantungku berdegup kencang, mataku panas ingin menangis. Tidak, tidak mungkin kejadian itu terulang lagi.
Aku merasakan tubuhku dimasukkan dan didudukkan di kursi, lalu aku mendengar pintu tertutup dan aku merasa tempat ini berjalan. Aku berada di mobil. Tanganku di belakang tubuhku dan di pegang oleh tangan kekar. Dia tidak menyakitiku. Mulutku sudah tidak dibekap lagi. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa yang kau mau?" Tanyaku, tetapi hening. Tidak ada suara apapun kecuali mesin mobil yang halus.
"Kenapa kau tidak menjawabku?" Hening lagi. Kenapa dia tidak bersuara? Well, aku pikir lebih dari satu orang karena jika tangannya menahan tanganku, berarti ada yang menyetir. Jadi, kenapa mereka tidak bersuara? Tidak menjawab pertanyaanku?
Beberapa saat kemudian, aku merasakan mobil berhenti. Aku mendengar pintu dibuka dan seseorang menarik tubuhku dan aku keluar dari mobil. Angin dingin malam menerpa kulitku. Aku hanya mengenakan dress selutut berwarna peach.
Lalu mereka mendorong tubuhku pelan untuk berjalan. Aku hanya pasrah dan mengikuti arah mereka. Mereka tidak bersuara sama sekali, jadi aku pasrah. Pasrah karena aku tidak tahu harus apa.
Lalu orang itu berhenti dan menghempaskan tubuhku sedikit. Aku tidak merasakan sentuhan apapun, tidak mendengar suara apapun, dan tidak merasakan orang itu lagi. Aku membuka penutup kepalaku. Aku membuka mata dan melihat kesekeliling. Aku berada di ruangan gelap, tetapi ada banyak lilin membentuk garis lurus ke lorong gelap. Aku berjalan mengikuti lilin yang menyala itu melewati lorong. Aku berada di ruangan gelap lainnya. Sekarang lilinnya berbentuk love dan ditengahnya ada Justin duduk, dengan gitar. Dilantai bertebaran kelopak bunga mawar merah dan putih.
"Forever can never be long enough for me
Feel like I've had long enough with you
Forget the world now we won't let them see
But there's one thing left to do"Dia mulai bernyanyi dan memetik senar gitarnya.
"Now that the weight has lifted
Love has surely shifted my way
Marry Me
Today and every day
Marry Me
If I ever get the nerve to say
Hello in this cafe
Say you will
Mm-hmm
Say you will
Mm-hmm"Air mata menusuk dibelakang bola mataku. Jantungku berdegup kencang. Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku.
"Together can never be close enough for me
Feel like I am close enough to you
You wear white and I'll wear out the words I love
And you're beautiful
Now that the wait is over
And love and has finally shown her my way
Marry me
Today and every day
Marry me
If I ever get the nerve to say hello in this cafe
Say you will
Mm-hmm
Say you will
Mm-hmm"Air mata berhasil jatuh dari mataku, meluncur dengan mulus di pipiku dan terus mengalir. Apa ini mimpi?
"Promise me
You'll always be
Happy by my side
I promise to
Sing to you
When all the music diesAnd marry me
Today and everyday
Marry me
If I ever get the nerve to say hello in this cafe
Say you will
Mm-hmm
Say you will
Marry me
Mm-hmm"Dia berhenti bernyanyi dan berhenti memetik senar gitarnya. Dia meletakkan gitarnya disamping kursi. Dia berdiri dan mendekat kearahku. Dia mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari dalam sakunya. Dia berlutut satu kaki dan membuka kotaknya dan mengarahkannya kearahku. Cincin! Astaga. Aku menutup kembali mulutku dengan kedua telapak tanganku. Air mataku mulai deras.
"Mungkin ini bukan seperti yang kau inginkan, mungkin ini buruk, atau mungkin kau tidak menyukai semua ini. Aku tahu aku orang yang buruk, aku tidak sempurna. But... Just let me love you, let me take care of you, let me sleep beside you every night and wake up beside you everyday, let me make you smile, let me make you happy, let me be there for you when you need me, let me be your strength, I want all of it. Let me. I just want you, only you. You're the woman I wish to live the rest of my life with and I would like to start making that reality by asking you a very important question.."
Dia menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan. Memejamkan matanya dan membuka nya lagi, lalu menatapku.
"Vanilla Vanderhill, will you let me marry you? Take you to the church and present to God the most beautiful, amazing, wonderful, strong woman I want. Will you taking my last name and need to be my wife?" Aku menatap matanya dengan mataku yang berair. Aku melihat keseriusan di matanya. Aku mengangguk dan memeluknya.
"Yes, I will! I will, oh my god, I will, baby!" Aku memeluknya erat, dan dia balas memelukku. Mencium rambutku. Aku merasakan kulitnya lembab berkeringat dingin.
"Kau berkeringat dingin" aku melepas pelukannya dan menatap matanya.
"Aku... Takut gelap, ditambah um... aku gugup." Dia menunduk malu.
"Nyalakan saja lampunya"
"Tidak, jangan." ujarnya. Aku mengerutkan kening, dan aku teringat kenapa aku diculik?
"Kenapa tadi aku diculik?"
"Itu suruhanku." Dia tersenyum lebar
"Kenapa?"
"Karena aku ingin menujukkan setelah semua hal berat yang kita lewati akan ada hal yang bahagia setelahnya. Contohnya saat kau diculik, dan setelah itu... Ya sekarang. Itulah kenapa aku menyuruh mereka menculikmu dan aku mematikan lampu disini."
"Dan lampu mati dirumahku juga itu ulahmu?" Tanyaku, dan dia mengangguk.
"Oh baby." Aku mencium bibirnya lembut. Dia membalas ciumanku dengan lembut juga. Ciuman kali ini berbeda.
"Mereka tidak menyakitimu kan?" Tanya nya setelah melepas ciuman. Aku menggeleng. Dia tersenyum lebar dan mengambil cincin dari kotak itu.
"Bolehkah aku memasang cincinnya ke jarimu?" Aku mengangguk lagi dan tersenyum. Dia memakaikan cincin itu ke jari manis kiriku.
"I love you, Vanilla."
"I love you too, Justin."
Dan kami berciuman kembali. Ini benar-benar hari yang indah. Aku tidak akan pernah melupakan ini. I'm gonna be a Mrs. Bieber.
****
Oh my god, this is the ending. Berasa cepet, padahal lama banget😂😂
Gimana nih pendapat kalian? Ummm... Favorite scene kalian yang mana? Atau favorite sex scene kalian yang mana?😂😂
Seperti biasa, gue mau ngucapin makasiiiiiiiiiiiiiiih banyak yang udah ngedukung dari awal(?) *cieilah* udah nge vote, nge comment, nge add reading list, yang udah baca walaupun siders, yaudah lah. It really means to me. Mwah💋
Gue gak bisa berhenti ngucapin makasih😂 okay, makasih lagi dah.😂😂😂
And sequel is out!! It'd be more sex in there, and... Yeah. I hope you guys wants to read it. Here's the link
http://w.tt/1MSPd0W
Or you can check out my profile and go to my story called "STRONG"
MUCH LOVE XOXO💞
-Jen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Does He Love Me?
FanficJustin tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk meng-kontrol emosinya. Dia melampiaskan emosinya dengan mencium gadis yang sebelumnya nerdy tampak memukau saat prom night. Vanilla dan Justin menjalin hubungan palsu untuk mempertahankan reputasi J...