XXVIII - Don't Go

848 56 0
                                    

Aprilia Vallery

Aku terbangun di tempat ini. Lagi. Dan sejak aku terbangun, aku hanya berputar-putar di taman ini. Suer, keren banget tamannya.

Air sungainya jernih banget, sekeliling sungai banyak bunga warna-warni, burung juga berterbangan di langit, udara sejuk, dan yang paling penting, suasananya tenang. Aku suka banget.

Ish, apaan lah bahasaku. Bukan aku banget.

Aku memasuki rumah kaca yang ditumbuhi pohon beringin ditengahnya. Aku duduk diakar besar pohon itu dan bersender di batang pohon. Kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab sejak jaman dinosaurus beranak.

Satu, pertanyaan yang terpenting dari semua yang ada sekaligus paling simpel. 'Dimana ini?'

Simpelkan? Tapi sampai saat ini, belum terjawab. Yang aku tahu tentang tempat ini bukan di dunia nyata. Maksudku, ayolah, mana ada katak merayap warna pink didunia nyata kan?

Katak merayap warna pink masih mending. Ada yang lebih parah. Ulat dan cacing terbang warna hijau sayap biru. Dan kalo terbangnya selalu bareng-bareng. jumlahnya ribuan. Ngeri nggak lo kalo mereka terbang diatas lo? kalo tiba-tiba jatuh gimana?

Bayanginnya aja udah merinding.

Dua, kenapa aku bisa ada disini?

Tiga, gimana keadaan di dunia nyata?

Empat, gimana keadaan'ku' di dunia nyata?

Sebenernya masih banyak lagi. Kalo aku sebutin semua, bab ini Cuma keisi sama pertanyaanku. Nggak lucu kan?

Sebenernya aku pengen disini terus. Enak banget soalnya. Tapi disisi lain, aku pengen banget kembali ke duniaku. Dunia nyata maksudnya.

Tapi nggak apa lah, disini dulu. Sekalian cuci mata gitu. Tapi sepi juga sih, nggak ada yang bisa diajak omong.

Aku bangkit lalu berjalan menuju bunga raksasa. Kurebahkan tubuhku diatas bunga itu. Empuk. Lebih empuk dari kasurku dirumah.

Seketika aku terlelap.

Sebelum terlelap, aku melihat dan mendengar suara seseorang. Suaranya indah, lembut seperti desiran air sungai yang mengalir. "Waktumu terbatas. Cepatlah, lalu ikuti Aku."

**************

Aku mengerjapkan mataku. Silau banget, bro. Sekujur tubuhku sakit sekaligus nggak bisa digerakkan. Yang aku lihat hanya kaca. Salah deng, cermin maksudnya.

'aku' di pantulan kaca keliatan ngenes banget. kepalaku diperban, pipiku lebam, dan entahlah.

Yang bikin aku kaget—mungkin seneng juga sih—Zio menelungkupkan kepalanya dilipatan tangannya di pinggir kasur yang kutiduri. Wajahnya keliatan damai, keren, dan..ekhem...tampan. oke yang terakhir lupakan.

Dan, wajahnya semakin tampan saja saat terkena cahaya bulan dari jendela.

Seketika aku terjebak dalam pesonanya. Entah apa ini, aku suka.

Ugh, lupakan. Geli gue.

Dilihat dari pakaiannya, aku tahu dia ada disini, menemaniku dari sepulang sekolah. Wow, amajing. apa dia nggak capek ya? Udah makan belom ya? Jangan-jangan dia belom mandi nih.

Hahaha.

Aku menoleh ke arah kiri dengan susah payah. Senyumku mengembang.

Zevan, Shin-kun, Kazu, Chiza dan Nisha duduk di sofa. Tidur sih lebih tepatnya. Di pinggir sofa, Zevan tidur di pundak Shin-kun dan Shin-kun tidur dengan kepala menunduk. Aku jamin, lehernya sakit waktu bangun. Yess!!

The Guardian SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang