CHAPTER 21

2.2K 179 0
                                    

Aku menghembuskan napas pasrah dan membiarkannya masuk ke dalam lalu duduk di sofa. Ia terdiam seperti memikirkan kata-kata yang akan di lontarkannya.

"Aku.. aku sedang membantu Beatrice." Ia menjawab namun tatapannya tidak terpaku ke mataku. Matanya menelusur rumah ini. Sangat terlihat bahwa ia berbohong.

"Cukup Harry! Kau berbohong. Lebih baik kau katakan kalau kau tidak mencintaiku lagi. Atau bahkan memang kau tidak pernah mencintaiku." Aku menggertak meja membuatnya menoleh ke arahku. Tatapan tajamnya membuat nyali ku ciut seketika.

Terdengar gemelatuk dari giginya. Gadis batinku langsung berlari menjauhi pria ini. Aku mencoba menatapnya seakan mempunyai keberanian lebih. Nyatanya, kemerahan di bola matanya membuatku ingin berteriak sekencangnya.

"Kau meragukan perasaanku, begitu?" Dengan suara yang dingin ia terus menatapku. Aku terdiam. Jangankan untuk menjawab, hanya sekedar menggeleng atau mengangguk pun aku tidak berani.

"Jawab aku, Alice!" Ia membenta membuat jantungku bekerja lebih cepat. Aku hendak membuka mulut namun segera mengatup lagi. Aku bingung apa yang ingin ku katakan kepadanya.

"Bukan...-" Ucapanku terputus oleh nada panggilan dari sebuah ponsel. Aku merogoh kantung namun tidak menemukannya disana. Harry menggengam ponsel di tangannya dan seketika tatapannya melunak begitu melihat layar ponselnya.

"Uhm..-" Sekarang ucapan ku terpotong olehnya yang pergi tiba-tiba. Aku menghembuskan napas kesal, kenapa harus ada gangguan disaat aku ingin mengatakan apa yang ku pendam sejak tadi?

Harry datang dengan senyum yang menempel di bibirnya. Sangat beebeda dengan saat ia datang kesini tadi. "Well, aku harus pergi sekarang. Kita bisa lanjutkan percakapan kita nanti, bukan? Sampai jumpa, Alice." Harry langsung keluar begitu ia menapakan kakinya di depan pintu. Belum sempat menduduki kursinya. Aku langsung mengejar dan menghentikannya ketika ia hendak membuka pintu mobil.

"Harry, uhm.. apa kau ingin bertemu Beatrice?" Aku bertanya ragu ragu. Lagi, sorot matanya berubah menyeramkan. Ia menatap ku tajam seakan melarang ku untuk menanyakan hal itu lagi. "Ak..aku hanya bertanya." Elakku. Ia memutar mata dan berjalan ke arahku.

"Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah tidak mempunyai hubungan apapun dengannya." Harry mengelus puncak kepala ku disusul dengan ciuman yang mendarat di dahi ku. Seketika pipi ku bersemu merah menerima perlakuannya. Harry-ku kembali.

"Baiklah. Sampai jumpa, Harry. Be careful." Aku melambai lalu mobilnya langsung melesat jauh meninggalkan pekarangan rumahku.

.

Merenggangkan tubuh lalu beranjak menuju jendela dan membukanya. Rembesan mentari pagi menerobos masuk melalui jendela itu. Berlari kecil ke arah balkon lalu melihat halaman belakang dan mendapati Debora sedang membersihkan halaman.

"Selamat pagi, Debora." Aku memanggilnya sambil melambai. Ia membalas dan tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya. Aku berjalan ke kamar mandi lalu menyalakan keran air panas dan menunggu beberapa saat sampai air di bathub terisi penuh. Setelahnya, aku menenggelamkan diriku sepenuhnya. Sambil mendengarkan musik dari tape yang ku letakkan di ujung kamar mandi.

Aku menyiapkan baju semi-formal karenan hari ini akan pergi ke toko roti. Tadi malam, Mom bercerita jika toko nya sudah berkembang sampai 5 toko di tempat yang berbeda. Bahkan sudah sampai di Skotlandia dan Irlandia. Tapi, hanya 3 toko yang sudah resmi dibuka. Yang lainnya masih dalam proses pembangunan.

Rencana selanjutnya, Mom ingin membangun toko roti di kampung halaman Anne dan Mom tentunya. Mom hanya berkata bahwa ia sudah membeli tanah di Holmes Chapel --tanah kelahiran keluarga Styles dan di Denver tentunya. Berbicara tentang Denver, tiba-tiba aku merindukan grandma. Sudah lama sekali aku tidak mengunjunginya. Well, semenjak keluarga ku pindah ke Inggris, memang kami sangat jarang pulang ke Denver. Selain karena ekonomi, juga karena jadwal kuliahku yang padat.

LUCKY [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang