15.Masa Lalu

1.5K 104 1
                                    

Tak bisa dijelaskan dengan ilmiah, dengan akal sehat dan naluri. Benar-benar tak masuk akal. Darimana datangnya semua ini? Darimana datangnya duri-duri aneh ini? Kenapa bisa keluar dari telapak tangannya?

Yume menggelengkan kepalanya. Ada yang salah dengan dunia ini. Dan dia harus mencari tahu. Atau tak perlu. Karena hal itu sangat membuang waktu. Dipikirannya saat ini adalah, kembali, ketempat asalnya. Ketempat dimana dia seharusnya berada dan itu bukan disini.

"Y-yume!" Teriakan itu membuat Yume mengalihkan pandangannya yang tadinya melihat telapak tangan, kini menghadap kebelakang, ke asal suara

Lea mendekat ke arah Yume dan memperhatikan seluruh tubuhnya setelah itu menghela napas lega. Tak ada lecet dan cacat apapun.

"Lihat..lihat siapa ini? Tuan Puteri Lea? Apa yang kau lakukan disini?"

Lea yang merasa dipanggil, baru sadar ada seorang yang lain diantara mereka dan melihat kesamping

"Flandy.." Lea menatap laki-laki didepannya sengit sambil merentangkan tangan kanannya disamping, menghalangi Yume yang berdiri dibelakangnya

"Kami tak punya urusan denganmu! Jangan lukai temanku.."

"Kau bercanda?" Flandy mengangkat dua tangannya tinggi-tinggi, merasa tak bersalah

"Aku sama sekali tak menyentuh temanmu. Aku sudah terlalu baik memberikan Kekuatan Hewan suci padanya" Lanjutnya

"Aku sedang dalam tahap tidak mengajak siapapun bercanda dan ingat baik-baik kata-kata ku ini. Kalau kau berani menyentuh teman-temanku aku akan---"

"Kau akan apa? Huh?" Flandy mendengus, meremehkan, dan menatap Lea didepannya sambil bersedekap

"Meminta bantuan pada Ayahmu? Pada kerajaan Cahaya yang makmur? Pada--"

Bug!

Flandy tersenyum sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah, kemudian berdiri, kali ini menatap lekat-lekat kearah Lea yang tepat berdiri didepannya. Napas gadis itu naik turun pertanda dia sangat emosi saat ini. Yume yang berdiri tak jauh dari mereka hanya bisa memundurkan langkah terkejut menatap keduanya, tak bisa berbuat apa-apa.

"Kau marah? Kau tak berhak untuk marah disini!"

"Ya dan aku tak peduli! Kau tak tahu dan--"

"Aku tahu!" Flandy berteriak keras, memotong perkataan Lea. Laki-laki itu menghela napas sebentar, mencoba meredamkan emosinya yang tiba-tiba saja keluar.

"Kau terlalu naif. Jangan menganggap dirimu paling menderita di dunia ini! Kau pikir hanya kau saja yang korban disini!?" Flandy memajukan langkahnya kali ini benar-benar tak tahan, tak peduli yang dihadapannya saat ini perempuan atau laki-laki.

"Ayah, Ibu, Kakak perempuan, dan adik laki-lakiku! Siapa yang--" Flandy menutup matanya sebentar kemudian mundur selangkah.

"Siapa yang bertanggung jawab? Kita semua korban! Buka matamu lebar-lebar. Kau bukan satu-satunya yang menderita disini!" Flandy menggelengkan kepalanya. Dadanya naik turun. Kehilangan keluarga secara tiba-tiba seperti itu memang tak dapat diprediksinya. Dia tak akan pernah tahu saat itu, saat terakhir mereka berpamitan. Hari yang tampak biasa dimana pertemuan pemimpin kerajaan dilakukan dan hari itu, di kerajaan Cahaya.

Flandy masih ingat dengan jelas dirinya yang menolak ajakan ibunya untuk ikut, dan memilih untuk berburu dihutan. Seandainya.. seandainya dia ikut, dia tak akan berada disini sekarang, dan itu lebih baik. Menanggung beban kerajaan diumurnya yang sekarang tanpa Ayah, Ibu dan keluarganya. Flandy memalingkan wajahnya. Tak ingin menghadap kedepan.

Lea mematung ditempat. Kakinya gemetaran dan mulutnya seperti ingin berkata sesuatu tapi tertahan diujung lidahnya. Tak mampu berkata -kata

"A-aku..tak pernah bisa. Bukan A-aku yang.. M-maaf.." Gadis itu ambruk ditempatmya terduduk dilantai dengan wajah bersalah. Seluruh tubuhnya gemetaran

Mystiki Porta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang