13

44 7 1
                                    

Sandy tidak menangis. Air matanya sudah habis dalam semalam. Matanya kering dan tampak tertutup kantung mata karena tidak bisa tidur. Ia keluar kamarnya lalu turun menuju meja makan.

"Kamu kenapa Sandy?" tanya ibunya cemas karena melihat mata Sandy yang sembap.

"Gak papa Ma, Sandy cuma gak bisa tidur tadi malem jadi rada ngantuk sekarang."

Sandy mengambil roti yang sudah ibunya siapkan dan pamit pergi.

"Kamu gak makan disini aja, San?"

"Gak Ma, mau langsung ke sekolah aja."

Sandy keluar dari pintu depan dan masuk ke dalam mobil. Sesampainya di sekolah, Sandy langsung turun dari mobil dan berjalan ke kelas dengan lesu.

Beberapa langkah lagi Sandy akan sampai di kelasnya namun terhenti karena ada yang menahan lengannya. Sandy menoleh ke belakang.

"Hai Sandy"

Sandy kaget dengan sosok laki-laki yang sudah berdiri tepat di depannya dengan muka tanpa dosa.

"Ya hai," jawab Sandy singkat.

Ia melihat raut muka Sandy yang tampak sedih dan mata yang seperti habis menangis.

"Lo kenapa? Abis nangis? Siapa yang nangisin?"

"Gila lo pake nanya. Jelas jelas lo yang bikin gue nangis, Evan." ucap Sandy namun hanya dalam hati.

"Gak kok, cuma ngantuk aja hari ini." jawab Sandy sambil tersenyum palsu.

"Oh oke, oh iya gue cuma mau nanya hari ini mau latihan lagi gak?"

"Gak usah, kan gue udah bisa dan hari ini gue ada pelajaran olahraga jadi gue mau penilaian sama Pak Dodi hari ini aja,"

"Oke kalo gitu, gue cabut duluan ya"

Sandy membalasnya dengan senyuman dan berlalu pergi masuk kelas.

"Abis ngobrol sama siapa San?" tanya Nadine setelah Sandy duduk di kursinya.

"Evan," jawab Sandy singkat, "Menurut lo gue harus gimana ya Din?"

"Hm? Maksudnya?" tanya Nadine bingung dengan salah satu alisnya terangkat.

"Lebih baik gue perjuangin atau gue lepasin?"

"Semua ini lo yang ngejalanin, gue gak bisa nentuin, gue cuma bisa kasih saran. Menurut gue, selama masih ada kesempatan, terusin perjuangan lo sampe lo nyerah untuk berjuang. Masih ada beberapa bulan lagi sebelum kita lulus, dan semoga aja lo gak nyesel dan gak salah jalan," kata Nadine bijak, "tapi semua terserah lo karena lo yang ngejalanin, biarkan hati lo yang menuntun lo untuk memilih."

Sandy terdiam. Perkataan Nadine sungguh menusuk hatinya. Selama pelajaran, ia tidak bisa berkonsentrasi belajar. Pikirannya kemana-mana.

Sepulang sekolah, Sandy mengambil handphonenya dan mengirim pesan kepada seseorang.

Gue bisa ketemu lo, Vin?

***

Secangkir cokelat panas menemani Sandy di sebuah kafe tempat ia akan bertemu dengan Vino. Sandy duduk di pinggir jendela, melihat rerintikan air hujan yang turun dari awan tebal berwarna abu-abu. Seperti hatinya yang berwarna abu-abu, bimbang. Bimbang untuk memilih.

Hiasan di pintu masuk berbunyi pertanda ada yang masuk. Vino. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya menemukan Sandy di meja pojok dekat jendela.

Vino duduk di hadapan Sandy. Suara kursi membuyarkan lamunan Sandy.

"Hai!" sapa Vino tetap ramah walau Sandy sering bersikap ketus kepadanya.

"Gak usah ge-er dulu, gue cuma mau nanya tentang Evan."

Sandy memang ketus namun tak ada perubahan ekspresi pada Vino, tetap sehangat biasanya.

"Lo tau Clara mantannya Evan?"

"Ya"

"Lo tau kemaren pas di restoran Evan lagi sama Clara?"

"Ya"

"Lo tau mereka mau balikan?"

"Ya.. eh? balikan? emang iya?"

"Gak tau sih cuma kan buat apa juga jalan sama mantan kalo niatnya gak mau balikan?"

"Ya bisa aja karena apa gitu."

"Mau bantuin gue?"

"Apa?"

"Cari tau tentang... Clara dan Evan,"

"Siap bos," jawab Vino mengacungkan kedua jempolnya.

"Apapun biar lo bahagia, San" kata Vino dalam hatinya, "Udah sore nih, cabut yuk. Lo pulang sama siapa?"

"Gak tau. Jalan kaki mungkin."

"Gila lo ujan ujan gini jalan kaki, gue anterin aja deh daripada lo sakit."

Sandy menaikkan satu alisnya, "In your dream," kata Sandy lalu beranjak pergi.

Sandy keluar dari cafe itu namun langkahnya terhenti karena hujannya sangat deras dan bunyi petir saling sahut menyahut.

"Ya ilah ujannya gede amat sih. Gue gak bawa payung lagi. Gengsi amat gue balik lagi dan minta Vino anterin," kata Sandy pelan namun masih bisa terdengar oleh orang orang di sekitar tempatnya berdiri sekarang.

"Udah, gak usah pake gengsi. Ayo gue anterin," kata Vino yang ternyata sudah berdiri di samping Sandy dan mendengar ucapan Sandy.

Vino mengambil payung dari dalam tas sekolahnya dan memberikannya kepada Sandy.

"Nih lo pake." kata Vino.

Sandy membuka payung itu lalu berjalan di samping Vino. Sandy menoleh dan melihat Vino terkena hujan karena payungnya ia gunakan.

"Kok lo gak pake payung?"

"Gak usah, lo aja."

Sandy mengangkat kedua bahunya lalu melanjutkan berjalan. Akhirnya mereka sampai di mobil Vino yang tidak terlalu jauh. Vino membukakan pintu untuk Sandy lalu mengambil payung Sandy setelah Sandy masuk ke dalam.

Setelah Vino melipat payung, ia masuk dan segera mengendarai mobilnya. Di mobil Vino, terjadi keheningan yang cukup lama.

"Tumben lo bawa mobil, biasanya naik motor." kata Sandy tiba-tiba.

"Lagi musim ujan jadi gue bawa mobil takut tiba tiba ujan pas lagi di jalan."

Sandy hanya menganggukkan kepalanya.

"Sebenernya kenapa sih lo ngehindarin gue?" tanya Vino tiba-tiba.

Sandy diam memikirkan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Vino.

"Suatu saat lo akan tau." jawab Sandy singkat.

Setelah pembicaraan singkat itu, keduanya hening. Baik Sandy ataupun Vino tidak ada yang mau membuka mulut. Hanya bunyi rintikan air yang menemani perjalanan mereka.

Tak sadar, mobil Vino sudah sampai di depan rumah Sandy. Sandy tak lupa mengucapkan terima kasih lalu turun dan segera masuk ke rumahnya.

Vino mengamati Sandy masuk ke dalam sampai Sandy benar-benar tidak kelihatan.

"Seandainya lo tau, San"

ChoicesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang