Chapter 9 : The Dream

1.3K 180 45
                                        

Gwen's POV

"Apa kau tidak berbohong?" tanya Kaylie dengan gugup.

"Untuk apa aku bohong?"

Aku diam sebentar, merasakan apa yang ada di sekitarku. Dan seketika, hawanya kembali normal.

"Mereka sudah pergi," ucapku.

"Siapa yang pergi?" tanya Alana.

"Makhluk astral yang tadinya ada di sini. Tapi kurasa, mereka akan kembali." Aku menarik nafas. "Apa rumahmu sudah dibaptis?" tanyaku.

"Eng ... ini rumah baru jadi, kami belum sempat membaptisnya."

"Segeralah dibaptis. Ini demi kau dan orang tuamu juga," ucapku.

Dan ku lihat, Alana mengangguk lesu.

Apa kalian fikir jika sekarang aku sedang menakut-nakuti Alana? Tentu tidak! Aku mengatakan yang sejujurnya pada Alana.

"Ah sudahlah, kita lupakan soal ini. Bagaimana jika minun teh? Kalian mau minum teh?" tanya Alana tiba-tiba.

Kami bertiga mengangguk setuju. Dan sedetik kemudian Alana berjalan menuruni tangga menuju dapur. Sedangkan aku, Kaylie dan Esther menunggu di dalam kamarnya.

 Sedangkan aku, Kaylie dan Esther menunggu di dalam kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melirik jam tanganku untuk yang kesekian kalinya. Jarum pendeknya telah berada di angka 5 dan jarum panjangnya telah berada di angka 11. Aku sudah mengirimkan alamat rumah Alana pada Tom dan menyuruhnya untuk menjemputku di sini.

"Kurasa sebentar lagi aku harus pulang," ucapku.

Alana menoleh padaku. "Mau kuantar?"

Aku menggeleng. "Tidak usah. Aku sudah minta dijemput."

Tak berapa lama kemudian, terdengar suara klakson mobil dari luar pagar rumah Alana.

"Kurasa jemputanku sudah datang. Aku pulang dulu, sampai jumpa," aku berdiri lalu berjalan ke luar.

"Apa kau menunggu lama?" tanya Tom saat aku sudah berada tak jauh darinya.

Aku menggeleng. "Tidak," ucapku lalu masuk ke dalam mobil.

Sepanjang perjalan kami tak banyak bicara. Lagi pula, Tom sedang fokus mengemudi jadi aku tak ingin mengganggunya.

Tak lama kemudian, kami berhenti lantaran lampu lalu lintas kini menyala merah.

Kulirik Tom yang sedari tadi selalu melirik ke kaca spion dengan dahinya yang ia kerutkan. Wajahnya serius sekali.

"Kau kenapa?" tanyaku penasaran.

"Sstt...," ucapnya sambil menaruh telunjuknya di depan bibirnya.

Beberapa detik kemudian terdengar suara motor yang melaju kencang dari arah belakang. Dan kurasa, ia hendak menerobos lampu merahnya.

INDIGOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang