Alana melangkahkan kakinya menuju meja makan untuk sarapan. Ia sengaja bangun lebih pagi daripada biasanya untuk mengobrol dengan papah nya. Di sana papahnya sedangkan mengotak-atik lembar demi lembar berkas kantornya untuk memeriksan kelengkapan agar tidak ada yang ketinggalan.
"Pagi, pah." sapa Alana memancarkan senyum manisnya.
"Pagi" jawab Andre sang papah dengan pandangan masih pada berkas. Alana duduk di kursi yang berhadapan dengan sang papah sambil memandanginya dengan berjuta harapan.
"Pah,"
"Iya?" sahut Andre tanpa menoleh sedikitpun ke arah Anaknya itu.
"Papahh..." panggil lagi Alana, kali ini papah nya menoleh.
"Kenapa, Al?" katanya lembut.
"Weekend ini ada waktu nggak, pah? Al mau jalan-jalan sama papah, please pah." kata Alana memohon. Alana melihat papah nya menarik napas panjang.
"Papah akan coba usahakan cari waktu luang untuk kamu, tapi papah harus kelarkan semua berkas-berkas ini dulu, ya sayang." katanya dengan lembut.
"Segitu pentingnya ya pah berkas-berkas itu?" Papahnya mengangguk.
"Ayo kita sarapan dulu," ajak sang papah.
"Al nggak nafsu, Al berangkat duluan deh pah." Alana langsung bangkit dari kursinya, lalu menyalami punggung tangan sang papah. "Assalamualaikum," pamitnya.
"Wa'alaikumsalam. tapi kamu belum sarapan Al, nanti kamu nggak konsen belajarnya!" namun Alana tak memperdulikan perkataan itu, ia terus melanjutkan langkahnya.
▪
🌉
▪
Alana berjalan menelusuri koridor sekolah menuju kelas. Pikirannya masih fokus pada pembicaraan saat di meja makan tadi. Yang ia ingin dipagi ini hanyalah bisa merasakan sebuah rasa kekeluargaan dimeja makan.Alana mendekap buku bindernya yang sejak tadi ia genggam. Buku binder itu adalah pemberian terakhir dari sang mamah yang akan selalu ia jaga. Ia menjadikannya seperti teman curhat, melalu tinta hitam yang dipoleskan diatas lembaran kosong disetiap halamannya, menggambarkan isi hati yang ingin ia ceritakan namun tak sempat tercurahkan.
Buku binder itu kini selalu ia bawa kemana-mana, kini ia memeluknya hanya untuk mengobati rasa rindunya kepada sang mamah. Namun, karena pikirannya melayang dan tak memperhatikan lajunya melangkah hingga tiba-tiba...
Bruukk...
"Aaww..." rintih Alana karena menabrak sesuatu tanpa sadar. Kini bokongnya mencium lantai dengan buku bindernya itu yang masih dalam pelukannya. Saat ia mengangkat kepalanya untuk melihat sesuatu yang ia tabrak, matanya terbelalak melihat siapa yang ia tabrak, orang itu tidak lain adalah Melvin.
"Punya mata tuh digunain buat liat jalanan didepan lo! Atau lo mau caper, ya?!" ujar Melvin memutar bola matanya dongkol.
Alana bungkam mendengar hal itu.
"Basi!" tambah Melvin.
Alana berdiri untuk mengklarifikasi, "Maaf," ujar Alana melihat Melvin yang lebih tinggi darinya.
"Iya, emang seharusnya lo minta maaf!" Melvin memasang wajah juteknya.
"Gue nggak sengaja, nggak ada niatan untuk nabrak lo! Buat apa gue nabrak lo kalo nantinya gue yang jatoh, nambah kerjaan gue aja!" Alana langsung pergi tanpa mendengar balasan dari Melvin. Sebenarnya Alana benci mengatakan hal itu. Tapi, setelah mendengar perkataan Melvin tadi ia merasa geram dan ini soal harga diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CARE [Tahap Revisi]
Teen Fiction#35 - teenfiction 02/08/2018 #7 - Care 08/01/2020 "Atas dasar apa lo peduli sama gue? Keluarga gue aja nggak peduli sama gue. Bahkan sahabat lama gue aja nggak peduli sama gue. Dan lo, lo siapa? Lo itu cuma orang asing yang singgah di hidup gue!"-Al...