Deep Blue Eyes

8.9K 652 7
                                    

(Revised Version)

Dr. Jordan mengangkat wajahnya untuk melihat Raiden sekali lagi. Kali ini ia melepas kacamatanya lalu memijat keningnya dengan gusar. Ia mengambil kertas yang tergeletak muram di meja kerjanya. Masih tak mempercayai keputusan Raiden. Ingin rasanya ia menolak keinginan Raiden itu dengan serta-merta.

"Kau yakin kau mau melakukan ini, Andrews?" tanya Dr. Jordan, entah untuk keberapa kalinya.

Raiden menarik nafas dalam-dalam lalu mengangguk mantap.

Dr. Jordan adalah orang yang baik, yang telah banyak berjasa pada perkembangan karir Raiden. Selama ini, Dr. Jordan selalu mendukung setiap keputusan yang Raiden ambil. Baginya, Raiden adalah dokter muda yang bijak, yang punya segala potensi untuk menjadi dokter hebat karena penghargaan anak muda itu yang tinggi pada pekerjaan yang mereka lakoni. Sejauh ini Raiden tak pernah mengambil keputusan yang salah, meskipun ia pernah mengalami kegagalan di satu atau dua operasinya namun itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Jika ada dokter muda lain yang memiliki integritas tinggi dan semangat menyala-nyala selain Raiden, Dr. Jordan mungkin tidak akan berpikir berkali-kali untuk merelakannya menjadi sukarelawan di negeri jauh.

Ya, Raiden baru saja menyerahkan surat pernyataan kesediaan dirinya untuk menjadi sukarelawan di Conakry, Guinea, kepada Dr. Jordan selaku kepala rumah sakit. Dr. Jordan hanya perlu membubuhkan tanda tangannya di atas kertas putih itu dan Raiden pun akan mendapatkan persetujuan yang ia butuhkan. Raiden bahkan telah menjalani serangkaian prosedur sejak beberapa minggu yang lalu.

"Aku bukan bermaksud untuk menghalangi keinginan muliamu itu, Nak. Hanya saja... aku pasti akan merasa sangat kehilangan. Kau tahu, kami sudah tidak punya dokter bedah muda sehandal dirimu lagi jika kau memutuskan untuk pergi." Kata Dr. Jordan sungguh-sungguh.

"Saya mengerti, Sir. Tapi ini sudah menjadi keputusan saya. Saya tidak ingin mengubahnya." Raiden berkata dengan mantap. Ia bahkan tidak berkedip saat mengatakannya.

Ia sudah memikirkan ini selama sebulan terakhir. Semenjak Adara hadir dalam kehidupannya, ia semakin didera rasa bersalah. Ia memang tidak pernah menyesal telah menjadi ayah malaikat kecil itu. Tidak... tentu saja tidak. Adara adalah satu dari sedikit hal di dunia ini yang berharga baginya. Hanya saja, melihat Adara selalu mengingatkannya pada Lilian dan pada rasa bersalah yang terus menggerogoti hatinya seperti virus. Ia selalu mengalami mimpi buruk bahkan saat ia tidak menutup matanya. Sebentar lagi mungkin ia akan menderita sakit jiwa kalau terus menerus terkungkung dalam kubangan perasaan bersalah itu.

Yang kemudian ia rasa tepat untuk ia lakukan adalah menjauh. Ia harus menjauh dari kota ini, dari semua hal yang memungkinnya terus teringat pada Lilian. Termasuk Adara. Ia sudah merencanakan sesuatu untuk putrinya itu. Mungkin ini adalah ide yang kejam. Mungkin Tuhan akan membencinya. Mungkin orang-orang akan menghujatnya. Ia tidak peduli. Tuhan bahkan tidak memberinya cukup pilihan. Kalau Tuhan memang menyayanginya, setidaknya jika Tuhan mengasihi putrinya, lalu mengapa Tuhan mengambil Lilian dari mereka?

Raiden mendengar Dr. Jordan mendesah keras. "Baiklah, Andrews. Jika kau bersikeras mempertahankan keputusanmu. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan untuk menghalangimu." Ucap Dr. Jordan.

Raiden mengucapkan terima kasih lalu bergegas pergi dari ruangan Dr. Jordan sebelum pria itu mengubah keputusannya. Raiden menyusuri koridor utama lalu berbelok menuju ruang perawatan bayi. Ia ingin menemui Adara sebelum pulang ke apartemen untuk mengemasi barang-barangnya. Setibanya disana, ia terlanjur bertemu dengan Helena dan sudah tidak bisa menghindar lagi.

Wanita itu sedang memandang Adara -yang tertidur pulas di dalam kotak bayi- dengan ekspresi yang sulit didefinisikan. Helena mungkin masih merasa menyesal atas apa yang terjadi. Raiden sadar sepenuhnya, ia yang telah membuat wanita itu merasa demikian. Ia selalu menghindar dari Helena, bersikap dingin dan tak pernah mengatakan sepatah katapun sejak terakhir kali ia berbicara dengan Helena, usai operasi persalinan Lilian waktu itu. Sejujurnya, ia tidak membenci Helena dan menyalahkannya atas musibah ini. Lagi-lagi, ia hanya tidak bisa membuang bayangan Lilian yang kesakitan setiap kali ia berada di dekat Helena.

Ange Déchu | Book 01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang