Raiden berdeham, lalu melirik wanita di sebelahnya yang sibuk sekali mengipasi wajah dengan tangan. Ia mengulum senyum, kemudian berdeham lagi. Kali ini tujuannya adalah agar wanita itu mau menoleh, memperhatikannya.
"Wow, tadi itu heroik sekali, Allard. Aku melihatmu terbang demi buket bunga itu." Celetuk Raiden.
Wyns menoleh dengan cepat. "Aku tidak terbang. Buket bunga itu tiba-tiba saja ada di tanganku." Balasnya. Memang benar, buket bunga itu tiba-tiba saja sudah berada dalam genggamannya.
Raiden tertawa kecil, membuat Wyns akhirnya ikut tertawa juga.
"Tapi aku sungguhan, Raiden. Buket bunga itu tiba-tiba saja sudah berada di tanganku." Ulang Wyns lagi dengan suara yang diharapkannya akan meyakinkan Raiden.
"Aku tahu. Aku tahu." Sahut Raiden, tersenyum lagi. Bukan tersenyum mengejek, melainkan senyum lepas yang membuat perut Wyns rasanya bergolak.
Wyns merasakan pipinya memanas dengan cepat. Ia pasti memerah dan Raiden tidak boleh tahu itu. Ia berbalik, berjalan seperti robot menuju meja yang menyajikan gimme s'more dalam potongan-potongan kecil yang lucu. Ia menggigit kue itu lalu menggumam nikmat.
"Enak sekali." Puji Wyns ketika kue itu sudah melewati mulutnya.
Tak jauh dari tempatnya berdiri terdapat candy bar yang dikerubungi anak-anak. Wyns bisa melihat Adara berada disana, memilih beberapa permen dan cokelat bersama anak-anak yang lain. Adara terlihat sangat ceria dan bahagia, dan itu tidak bisa mencegah Wyns untuk tidak tersenyum.
Ia memperingatkan Adara untuk tidak memakan cokelat terlalu banyak saat putrinya itu lewat di dekatnya. Ketika ia berbalik lagi, Raiden sudah berdiri sangat dekat di sampingnya, membuatnya hampir melonjak karena kaget.
Raiden mengulurkan tangan. "Maukah kau berdansa denganku?" Tanya Raiden dengan bahasa yang sangat sopan. Ujung bibirnya berkedut menahan tawa.
Wyns pura-pura berpikir. Ia mengedarkan pandangannya, bertingkah seolah ia sedang mencari-cari orang lain untuk diajak berdansa dan membiarkan tangan Raiden menggantung di udara.
Raiden mendesah. "Tidak ada pangeran lagi yang tersisa. Hanya aku satu-satunya yang bersedia mengajakmu berdansa."
Wyns mencibir. "Aku tidak menyuruhmu mengajakku." Protes Wyns.
Raiden memutar mata. Ia menurunkan tangannya, siap berbalik untuk pergi dan Wyns sedikit merasa kecewa karena itu. Tapi kemudian, tanpa diduga, Raiden menarik sebelah tangan Wyns, lalu meletakkannya di bahunya sementara tangan Wyns yang lain tergenggam erat di tangannya yang terangkat ke udara. Telapak tangan Raiden yang satu lagi berada di pinggang Wyns. Ia menarik tubuh wanita itu agar lebih dekat padanya dan ketika Wyns mendongak karena terkejut, wajah mereka sudah sangat dekat hingga hembusan nafas masing-masing membelai kulit keduanya.
Raiden menatap mata kehijauan itu dalam-dalam, seakan ingin menyelaminya lebih jauh, mencari tahu sesuatu. Mereka tetap dalam posisi seperti itu selama beberapa saat, padahal musik sudah mengalun sejak tadi.
Wyns mengatur nafasnya yang nyaris terserak. Ia menatap malu-malu ke manik mata biru Raiden. Jantungnya berdebar sangat kencang --terlalu kencang hingga ia merasa khawatir Raiden akan bisa merasakannya.
"R-Raiden..." gumam Wyns ragu. Bahkan ia merasa kesulitan saat berbicara karena ia merasa dadanya seperti akan meledak kalau ia salah bergerak atau semacamnya.
Raiden mengeratkan genggamannya pada tangan Wyns, lalu membuat gerakan kecil untuk menyamai alunan musik.
"Aku tahu ini kedengarannya murahan..." Raiden berbicara di samping kepala Wyns. Meski sudah memakai high heels, tinggi Wyns tetap sulit menyamainya. Puncak kepala Wyns bahkan hanya sebatas dagu Raiden saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ange Déchu | Book 01
ChickLitWynstelle Allard baru saja pindah dari Brooklyn ke Savannah untuk melarikan diri setelah menjadi selingkuhan tunangan atasannya. Ia tinggal di sebuah apartemen dan bersahabat dengan 4 penghuni lain; Yuuki si penggila pesta, Miranda dan Elliot; pasan...