Playing Hard to Get

3.6K 340 13
                                    

"Kurang tidur lagi, huh?" Billy bertanya dari arah pintu. Pria itu memegang segelas kopi di tangan kanan dan roti isi di tangan yang lain. Ia berjalan masuk, duduk di sofa tanpa dipersilakan.

Raiden menutup laporannya. "Begitulah. Sulit bagiku untuk istirahat akhir-akhir ini." Jawab Raiden, tidak berusaha untuk berbohong sama sekali.

Ia memang terlihat kurang segar belakangan ini. Muram dan dingin, membuat siapapun yang melihatnya seperti punya hari yang buruk juga.

"Apa yang kau pikirkan, kawan?" Tanya Billy. Ia menggigit roti isinya dalam potongan besar, lalu mengunyahnya pelan-pelan. Melihat Billy makan dengan lahap sebenarnya membuat Raiden ingat bahwa ia belum makan apapun sejak dua hari yang lalu.

Mau bagaimana lagi? Selera makannya musnah. Ia sangat kacau, bahkan untuk bangun di pagi hari dengan suasana hati yang ringanpun ia tidak mampu.

Raiden tidak akan mengatakan apa-apa pada Billy. Ia tentu tidak ingin bilang dengan jujur bahwa ia begitu karena memikirkan Wynstelle. Memikirkan kata-kata Wynstelle di pertemuan terakhir mereka.

Wanita memang punya kekuatan seperti itu. Kekuatan super yang mampu membikin laki-laki pusing dan berantakan.

Raiden membuang nafas berat. Kacau!

"Lihat! Kau mendesah lagi." Tegur Billy.

"Itu karena aku lelah saja. Kepalaku pusing." Kilah Raiden lalu memijat pelipisnya.

"Kau harus istirahat, Rai. Membiarkan tubuhmu seperti ini terus akan benar-benar menyulitkanmu. Kau butuh tidur untuk mengisi ulang energimu. Itu akan membuat kinerjamu tidak terganggu. Kau masih ingat kalau konsentrasi penuhmu sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa orang lain, bukan?" Kata Billy.

Raiden merasakan ujung-ujung bibirnya bergetar, menahan tawa. "Wow, kau terdengar seperti ayahmu sekarang." Komentar Raiden.

"Hey, bung. Begini-begini aku juga seorang dokter." Sahut Billy, pura-pura tersinggung.

"Lihat siapa yang berbicara." Ejek Raiden, lalu tergelak sampai matanya berair. Itu tawa pertamanya sejak berhari-hari yang lalu. Melegakan mendengarnya bisa tertawa seperti itu.

Billy menunggu sahabatnya itu berhenti tertawa. Kapan terakhir kali ia melihat Raiden seperti itu? Ooh, sangat lama. Seperti berabad-abad. Dulu Raiden pernah seperti ini. Pendiam, jarang tertawa meskipun ia memang sangat cerewet. Sampai beberapa bulan terakhir, tepatnya ketika pria itu kembali dari Guinea dan bertemu dengan Wyns.

Billy belum sebegitu bodoh hingga tidak menyadari bahwa sahabatnya itu sedang jatuh cinta. Gelagat Raiden yang berbicara begitu. Sejak bertemu --lagi- dengan Wyns, Raiden menjadi lebih bersemangat, lebih mudah tersenyum, lebih lepas dan dua kali lebih cerewet dari biasanya.

Menyenangkan sekali melihat Raiden yang seperti itu. Dan jika sekarang ia kembali menjadi si pendiam, itu pasti karena mereka berdua --Raiden dan Wyns- sedang melalui sesuatu. Pertengkaran mungkin.

"Omong-omong, apakah besok kau punya waktu luang?" Tanya Billy.

Raiden tampak berpikir. "Aku belum tahu. Ada apa?"

"Kalau kau tidak berencana untuk pergi kemanapun, lebih baik kau ikut denganku saja. Ayahku mengajakku makan siang untuk membahas proyek yang diajukan oleh universitas beberapa hari yang lalu."

"Kalian mau membahas pekerjaan saat makan?"

Billy mengedikkan bahu. "Kau tahu sendiri ayahku memang orang seperti itu."

Raiden diam sejenak. "Sebenarnya..." gumamnya. "Sebenarnya aku sedang memikirkan sebuah rencana di kepalaku, hanya saja aku tidak yakin apakah rencana itu bisa berjalan dengan lancar. Makanya aku belum bisa memastikan apakah aku bisa ikut bersama kalian atau tidak."

Ange Déchu | Book 01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang