About the Guy Who Deserves the Punch

3.9K 354 6
                                    

Wyns membuka pintu apartemennya sambil menggerutu.

"Dasar keras kepala. Benar-benar menyebal--"

Ia terdiam. Matanya melebar dan ia menahan nafas dengan bodohnya.

Andrea berdiri di hadapannya. Tampak bingung meskipun pria itu mencoba untuk tersenyum.

"A-andrea?" Wyns bertanya pada udara kosong. Suaranya hampa, murni hanya karena keterkejutan saja. Ia jelas tidak mengharapkan kehadiran Andrea disana. Sekarang. Saat ini.

Andrea mengangkat sebelah tangannya. "Hai, Wyns." Sapanya.

Wyns mendadak diliputi rasa marah. Setelah semua yang pria itu lakukan padanya, ia datang dan hanya mengatakan 'hai' seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dan soal pernikahan itu... Wyns masih sesak nafas kalau memikirkannya.

Sahabat? Omong kosong. Tidak ada hal semacam itu di dunia ini. Itu terlalu klise untuk dicerna oleh Wyns. Rasanya jauh lebih baik saat Wyns dikhianati oleh Allan daripada dikhianati oleh Andrea. Kenapa? Karena ia dan Allan punya status yang jelas dan ia berhak untuk marah. Ia bisa menangis untuk alasan yang jelas. Ia patah hati untuk alasan yang jelas. Tidak sia-sia seperti saat ia dengan Andrea. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin memaki, tapi sesuatu menghalanginya.

Rasa malu.

Ia merasa malu karena ia bukan siapa-siapa. Tidak pernah menjadi siapa-siapa. Dan ketika Andrea harus pergi, melanjutkan hidupnya bersama orang lain, Wyns merasa seperti baru saja dikhianati. Lucu sekali. Tidak punya ikatan apa-apa tapi merasa memiliki.

Itu adalah apa yang orang katakan soal flirtationship. Hubungan yang isinya hanya godaan dan rayuan-rayuan. Seperti apa yang Wyns dan Andrea lakukan selama ini. Mereka bersahabat, tapi juga bermain api agar salah satu dari mereka jatuh cinta.

Percayalah, sesungguhnya yang membuat Wyns jatuh cinta bukanlah Andrea, tapi hubungan persahabatan mereka itu sendiri. Aneh, tapi begitulah kenyataannya. Kenyamanan itu yang membuatnya jatuh cinta. Jadi kalau sekarang ia merasa marah, itu pasti karena ia tidak rela Andrea membagi perasaan yang sama untuk orang lain.

Wyns menghela nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya.

"Mau apa kau kemari?" Wyns bertanya dingin.

Andrea tersenyum tipis. "Untuk menemui." Jawabnya. "Kau tidak mau mempersilakanku masuk?" Sambungnya.

Wyns membasahi bibirnya. Ia menengok ke dalam sebentar. Itu tidak mungkin. Andrea tidak akan masuk ke dalam rumahnya. Raiden ada disana, bersama anaknya. Dan Wyns tidak ingin mempertemukan keduanya karena ia punya firasat bahwa semuanya akan menjadi rumit.

"Katakan saja apa yang kau ingin katakan. Aku akan mendengarkannya." Kata Wyns, menunjukkan gestur kurang nyaman yang membuat Andrea tersenyum kecut. Ia tahu diri dan paham sekali kalau Wyns meningkatkan pertahanan dirinya. Wanita itu mungkin juga tidak akan senang dengan apa yang dikatakannya.

"Baiklah." Balas Andrea. "Aku ingin memberitahumu sesuatu."

Wyns menegakkan tubuhnya, bersedekap dan meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia mendadak resah dan ia merasa bisa menebak apa yang akan Andrea katakan padanya. Dan pikiran itu membuat kebenciannya terbakar.

Wyns mendesah keras. "Sebenarnya aku sudah tahu apa yang ingin kau katakan. Tapi untuk menghargaimu, aku akan mendengarkannya. Langsung dari mulutmu." Ucap Wyns.

Andrea melebarkan matanya. Terkejut, tapi ia segera mengendalikan diri. Ia bukannya tidak mempersiapkan diri demi hari ini. Ia sudah berlatih puluhan kali, menangis beberapa kali dan sebanyak itu pulalah ia ingin menyakiti dirinya sendiri. Ia merasa bodoh dan ia tidak ingin memperpanjang kebodohannya itu lagi. Sekarang atau tidak selamanya.

Ange Déchu | Book 01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang