(After Revision)
Dua bulan kemudian...
Miranda mengetuk pintu apartemen Wynstelle. Ia tahu Wyns berada di rumah sejak siang tadi. Ia tidak perlu bersusah payah menelepon Printemps untuk mengonfirmasi. Mobil ungu norak Wyns juga terparkir manis di driveway, jadi perempuan itu merasa Wyns sudah tidak punya alasan lagi untuk menolaknya; menolak tawaran kencan butanya dengan seorang editor majalah kenalan ibu Miranda.
Dengan sabar Miranda terus menekan bel pintu apartemen Wyns. Ia tidak akan menyerah dengan mudah. Tidak hari ini, karena kesempatan ini sangat-sangat bagus untuk Wyns. Temannya itu mungkin akan sangat cocok dengan si editor. Miranda sudah melihat profil pria itu di salah satu ulasan khusus redaksi di majalah kenamaan dimana si pria bekerja. Tinggi, bugar, tampan dan cerdas. Si editor itu adalah peluang emas.
Tiga menit kemudian pintu terbuka. Wyns muncul dengan raut muka masam. Rambutnya dikuncir asal dan ada cetakan bordir cussion di pipinya yang menandakan bahwa wanita itu baru bangun dari tidur siangnya.
Wyns menggaruk lengan kirinya dan memandang jengah kepada Miranda yang sudah bersedekap, siap mengomel panjang.
"Ada apa?" Tanya Wyns ketus.
"Ada tsunami di luar." Jawab Miranda, sama ketusnya.
Wyns berjengit, melongokkan kepalanya ke luar, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan untuk benar-benar memeriksa apakah di luar memang ada tsunami. Ia sama sekali tidak punya gagasan cemerlang bahwa Miranda sedang bercanda. Nah, sekarang Miranda percaya bahwa perempuan di hadapannya itu memang baru bangun dari tidur siangnya. Lihat saja, otaknya belum berjalan dengan sempurna memproses lelucon Miranda.
"Kau bohong." Tuding Wyns.
Miranda menyingkirkan tubuh Wyns ke samping lalu masuk ke dalam sambil membalas, "memang. Kau pikir aku bisa sesantai ini kalau di luar ada tsunami. Kau semakin dungu saja."
Wyns membuntuti dari belakang dan mulai mewanti-wanti Miranda bahwa ibu satu itu tidak perlu membuat keributan hanya untuk mengomeli Wyns karena Adara sedang tidur nyenyak.
Miranda duduk di sofa ruang tengah lalu mulai mengulurkan tangan untuk mengambil stoples berisi kue kering dan memakannya tanpa permisi. Itu sudah biasa sebenarnya. Wyns tidak mempermasalahkan hal-hal remeh seperti itu.
"Omong-omong, kau ada waktu kosong malam ini?" Tanya Miranda.
Wyns bergumam panjang. "Ada. Kenapa?"
"Kau masih ingat dengan Francis, 'kan? Editor majalah fashion di New York yang kukatakan padamu waktu itu. Francis Smith. Kenalan ibuku."
Wyns membuka mulutnya dengan dramatis, merasa tahu kemana arah pembicaraan ini. Oh, Tuhan, tolong jangan kencan buta lagi. Wyns nyaris kehilangan jati dirinya sebagai lajang yang bahagia karena rentetan jadwal kencan buta yang diagendakan sahabat-sahabatnya. Terhitung sejak dua bulan yang lalu, sudah sepuluh pria yang serius mengajaknya menikah berkat kencan buta itu. Tapi ia menolaknya.
Pria-pria itu memang memenuhi standard yang diinginkan para wanita lajang di seantero negeri; tinggi, menarik, cerdas dan mapan. Tapi, Wyns sama sekali tidak terkesan. Tidak ada yang membuat hatinya ricuh, seperti anak remaja jatuh cinta. Semuanya sangat datar. Sangat biasa saja. Ia bahkan hampir meragukan orientasi seksualnya; apakah ia masih normal atau sudah berubah sejak ia patah hati parah?
Memang, ada satu dua pria yang punya poin khusus yang nyaris membuat Wyns terkesan. Namun, Wyns segera didera rasa bosan, takut dan cemas. Ia menyadari bahwa itu adalah bentuk ketidaksiapan dirinya untuk memulai hubungan serius. Belun bisa. Ia belum bisa siap untuk sesuatu yang seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ange Déchu | Book 01
ChickLitWynstelle Allard baru saja pindah dari Brooklyn ke Savannah untuk melarikan diri setelah menjadi selingkuhan tunangan atasannya. Ia tinggal di sebuah apartemen dan bersahabat dengan 4 penghuni lain; Yuuki si penggila pesta, Miranda dan Elliot; pasan...