Lapar. Hal pertama yang dirasakan Ren selepas berkeliling Royal High School petang tadi(belum keseluruhan, sih). Perutnya berulang kali meronta meminta sesuap nasi, bahkan sesuap pun tak cukup. Ren melirik jam yang tertempel di dinding dengan ekor matanya,berharap sudah waktunya makan malam.
Ren berlonjak bangun dari posisi berbaringnya. Sudah pukul tujuh lebih empat puluh lima malam, artinya lima belas menit lagi makan malam. Ren segera bergegas mengganti pakaiannya dengan setelan yang lebih hangat. Ia mengenakan sebuah sweeter berwarna jingga dengan bawahan celana panjang, lalu ditimpa dengan hoddie berwarna abu.
Lantas kaki-kaki Ren dengan semangat memijaki pualam dingin menuju ke arah tangga sepiral yang anakan tangganya membuat kaki Ren pegal dan lemas. Namun, untuk saat ini bukan waktu yang pas untuk mengeluhkan kaki. Karena ini saatnya makan malam!
...
Setelah mengambil jatah makan malamnya, Ren segera duduk di meja kosong yang sudah tertata rapi di ruangan amat luas. Tempat yang dikatakan sebagai diningg hall di Royal High School.
Ren memendarkan pandangannya, mengamati dining hall yang mulai dipenuhi siswa-siswi Royal High School. Lampu kristal yang tergantung di tengah ruangan menjadi penerangan utama dining hall, dinding-dindingnya dicat dengan warna putih gading membuat ruangan itu makin terang, juga atapnya yang terbuat dari kaca membuat bentangan langit bertabur bintang menjadi pemandangan utama.
"Hei, kau!"
Ren terperanjat. Fokusnya langsung beralih pada laki-laki bersurai pirang yang berdiri menatapnya.
"I-ya." Ren menekan kegagapannya.
"Ini mejaku," ujarnya dengan raut tak suka Ren duduk di sana.
"M-aaf, aku tak tahu. Lagi pula ... Tak ada tulisannya juga." Ren menggaruk tengkuknya. Merasa sangat bodoh dengan apa yang ia katakan.
Laki-laki itu mendengus. Ia memutar bola matanya seakan mengatakan, 'terserah'. Lantas duduk di depan Ren. Ren bisa membaca ekspresi kesal ditimpal tak suka dari bibir manyun laki-laki pirang itu.
"A-anu, s-siapa namamu?" untuk kali ini Ren tak bisa menahan kegagapannya. Ia terlalu takut untuk bertannya, takut jika orang yang ia tanya tak mengacuhkannya.
Laki-laki itu menatap Ren sejenak sembari menghentikan kegiatan mengunyahnya. "Rezel. Rezel Giendra," sautnya beberapa detik kemudian. "Kau anak baru?" lanjutnya.
"Iya. Namaku Ren, Ren Leighton," saut Ren cepat-cepat.
Ren menghela napasnya lega. Tak seperti yang ia bayangkan. Rezel memilih menyautnya, walau pun dengan jawaban yang sarat akan keterpaksaan. Mungkin ini yang dinamakan satu langkah menuju kemajuan di Royal High School.
"Hei, Rezel. Aku tak pernah melihatmu berbagi tempat kecuali denganku." Ren bisa mendengar nada ketus yang sengaja ditujukan padanya. Terdengar mengarah pada Rezel, tapi Ren tahu itu cuma embel-embel yang membuat kata-kata itu tak langsung kena padanya.
Tanpa menoleh pun Ren tahu siapa pemilik suara itu. Vier. laki-laki menyebalkan, pemilik manik nilam yang membuat Ren harus mengakui ketenangan dan ketegasan dari manik indah itu.
"Huh, aku tak tahu. Benalu ini sudah ada di sini sebelum aku," balas Rezel tak kalah ketus.
Perasaan Ren saja, atau memang mereka sengaja membuat Ren tak betah duduk di sana. Tak acuh. Ren mencoba menunjukkan sikap itu lagi, lagi, dan lagi.
"Biarkan. Anggap saja bukan apa-apa."
Ren bisa mendengar perbincangan riuh Vier dan Rezel. Mereka berisik atau sengaja menyalakan alrm pengusir Ren? Oh, Ren yang malang. Harapannya pupus setelah mengetahui Rezel satu komplot dengan Vier. Jika diibaratkan bermain monopoli, kini ia mendapat kartu yang mengharuskannya mundur sepuluh petak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess (DALAM PROSES REVISI)
Fantasy(𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) --First Book-- "Sebuah kasta t...