Dedaunan rimbun pada pohon dekat balkon saling bergesekan diterpa angin malam. Helaian rambut cokelat Ren yang dibiarkan terurai ikut berkibar mengikuti arah angin. Gadis itu berdiri sembari bertumpu malas pada pagar berwarna biru gelap yang menjadi pembatas balkon kamar Vier. Entah apalah yang akan dilakukannya malam ini. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit, makan malam baru saja usai, tapi Vier tak lekas datang. Seusai muncul petang tadi, laki-laki itu kembali menghilang entah kemana. Parahnya Ren tak tahu kode untuk membuka pintu kamar Vier, tak seperti pintu kamar kebanyakan di Royal High School kamar Vier tak bisa dibuka dari dalam tanpa memasukkan kode. Ia terpaksa menunggu laki-laki itu datang sembari menahan perutnya yang sesekali meronta. Ia belum makan apa pun sejak kemarin.
"Dasar, Vier! Kau tak pernah mengerti derita menjadi Ren Leighton."
Ren mengetuk-ngetukkan jemarinya pada batangan besi pagar balkon. Pandangannya menatap hampa dedaunan yang saling bergesekan. Sesekali udara dingin usil membelai tengkuk, wajah, kaki, dan lengannya. Tapi, gadis itu tak peduli.
Klik. Ren bisa melihat laki-laki dengan surai kebiruan yang agak berantakan usai pintu berwarna indigo itu terbuka. Vier menghela nafasnya berat kemudian langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Dari mana, kau?" Ren menutup pintu kaca balkom sembari menatap penuh selidik ke arah Vier--seperti seorang istri yang menanyai suaminya yang pulang terlambat dengan pertanyaan yang mengintimidasi.
"Hnn ... Menurutmu?" Vier menyipitkan matanya. Menatap culas Ren yang membungkukkan badannya sembari menumpu tubuhnya pada sandaran sofa.
"Makan malam dan meninggalkanku dalam keadaan lapar."
"Ngawur!" Vier langsung terduduk dan reflek melempar bantal sofa yang lembut. "Bilang saja kau lapar." laki-laki bermanik safir itu tersenyum jahil ke arah Ren, seakan-akan sudah tahu kode gadis itu.
"Yeah, begitulah ..." Ren tertawa kecil sembari menggaruk tengkuknya.
"Baiklah-baiklah, tunggu sebentar."
Vier beranjak dari sofa, memutar kenop pintu berwa putih kebiruan dengan pattern abstrak dengan warna biru yang beraneka ragam. Ren mengikutinya dari belakang. Gadis itu baru sadar, kamar Vier juga dilengkapi fasilitas dapur yang cukup luas dan isinya yang lengkap.
Wah, seberapa pentingnya Vier di sekolah ini hingga mendapat fasilitas super duper lengkap. Berkali-kali lipat dari kamarku. Pandangan Ren beralih pada Vier yang menarik kursi mempersilahkan Ren untuk duduk. Gadis itu mengangguk lalu duduk di kursi yang ditunjuk Vier. Tangan Vier langsung menyambar celemek yang tergelantung di sisi dapur lalu memakainya.
"Kau mau makan apa?" tanya Vier sembari memendarkan pandangannya pada seluruh isi kulkas yang besarnya hampir-hampir menyamai lemari baju Ren.
"Hmm ... Apa, ya. Aku ingin ... Makanan yang hangat, bikin kenyang, rasanya asam, manis, gurih." Ren mulai menerka-nerka makanan apa yang dapat memenuhi kriterianya.
"Banyak makanan yang seperti itu, Ren." Vier langsung berbalik dari posisi menelisir isi kulkasnya. Ren hanya nyengir melihat Vier mengerutkan dahi. Laki-laki itu menghela napasnya lalu kembali melempar pandangannya ke dalam kulkas. "Baiklah, sepertinya aku punya sesuatu yang cocok untuk itu." Vier mengeluarkan sebuah benda yang sudah terbalut oleh aluminium foil dari dalam kulkas.
"Hei, jangan bilang kau tak bisa masak." Ren mendengus. Bertopang dagu sembari menatap remeh ke arah Vier yang memasukkan benda yang di bawanya ke dalam microwave.
"Jangan asal bicara. Aku sudah membuatnya beberapa hari yang lalu. Tapi belum sempat kumatangkan karena panggilan ... Misi, kau tahu, kan." Vier menekan kata misi membuat Ren melongos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess (DALAM PROSES REVISI)
Fantasy(𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) --First Book-- "Sebuah kasta t...