"Aku menyuruhmu menangis, tapi bukan menangis terus seperti ini." Vier melepas pelukannya.
"Aku tidak menangis! Softlens-ku lepas, mataku jadi perih," ujar Ren sembari menggosok matanya.
"Jangan banyak alasan!"
"Aku serius!" sanggah Ren sembari mencoba melepas softlens yang dikenakannya--membuktikan pada Vier bahwa ia tak berbohong.
"Hei, sejak kapan kau pakai softlens, hah?" Vier menelisik mata Ren yang terpejam setelah jemarinya melepas softlens berwarna cokelat.
"Uhm ... Sejak kapan, ya? Sejak di panti, mungkin," jawab Ren mengira-ira. Ia masih memejamkan matanya, mengerjabkannya lalu membukanya lebar-lebar. Vier tersentak, warna manik mata Ren tak sesuai kelihatannya. Kau hanya perlu melihat ke dalam, Vier. Perkataan Mrs. Mire tiba-tiba terngiang dalam kepalanya. Apa ... Ini yang di maksud salah satu dari rahasia Ren?
"Ren, matamu ..." perkataan Vier terputus.
"Kenapa?" Ren menautkan alisnya, menatap Vier penuh tanya. Ia tertawa kecil. "Kenapa? Mataku memang tak seindah gadis yang bersamamu beberapa hari yang lalu. Tapi, setidaknya ia warna mata asliku," ujar Ren sembari mengibas-ibaskan jemarinya ke arah Vier.
"Kenapa kau membandingkannya dengan Rise?" dahi Vier berkerut. Manik safirnya menatap ambigu Ren yang cengengesan di depannya.
"Karena warna mataku sama dengannya, kan? Tapi--"
"Sudah, jangan banyak bicara. Kau masih lemah. Pakai ini!" Vier melepas jubahnya lalu melemparnya pada Ren. "Pakaianmu saat ini lebih buruk dari gelandangan," lanjutnya.
"Huuh ... Dasar bipolar!"
"Sudah, diam dan pakailah!"
"Lihat siapa ini! Blue Phoenix yang memiliki sembilan nyawa." mendengar suara berat itu, Vier langsung melempar pandangan siaga. Instingnya mengatakan, predator yang lebih besar akan segera memangsa predator kecil dan mangsanya. Bukan! Vier tidak bisa digolongkan sebagai predator kecil.
"Raven." lidah Vier serasa kelu mengucap nama itu. Sedangkan di depannya sudah berdiri angkuh sesosok laki-laki bersurai kelam. Tersirat makna dari manik tajamnya. Hasrat dan nafsu membunuh terefleksikan dengan jelas dari kilat matanya.
"Kenapa menunjukkan wajah itu padaku, Vier. Jangan seperti itu, kau ini, kan, tamuku. Sebagai tuan rumah yang baik, aku akan menjamu tamu-tamuku dengan baik pula." Seringaian menyertai setiap jeda kata-kata Raven, seakan laki-laki itu siap menguliti dua orang di depannya.
"Ren," bisik Vier dengan suara pelan. Ren terdiam untuk mendengarkan seksama Vier. Ia tahu, jika Vier sudah seperti itu maknanya ada hal yang benar-benar genting. "Genggam erat-erat belati ini, jangan lepaskan!" Vier memberikan sebuah belati berwarna keperakan yang mengkilat.
"Untuk apa?"
"Genggam saja! Mungkin, jika kau bisa menggunakannya, belati itu akan melindungimu," lanjut Vier pelan. Hampir-hampir suaranya tak terdengar oleh indera pendengar Ren.
"Jadi, tamuku, siap dijamu?" Raven membenarkan sarung tangan hitam yang melekat pas di kedua tangannya.
"Sebagai tamu yang baik, aku akan memperlakukan tuan rumah sebaik tuan rumah memperlakukan tamunya."
Vier mengubah elememt-nya menjadi sebilah pedang berwarna biru transparan yang merefleksikan kilat cahaya. Ia menatap Raven bengis--kilat matanya merefleksikan keseriusannya saat ini. Belum sempat ia melangkah Raven sudah menyerangnya dengan telekenesis yang memang menjadi senjata pamungkas Raven, sehingga Vier terhempas dan menghantam dinding cukup keras. Raven mengubah element-nya menjadi tiga belati dan pada saat bersamaan belati itu meluncur menusuk perut Vier.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess (DALAM PROSES REVISI)
Fantasy(𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) --First Book-- "Sebuah kasta t...