Angin malam berdesir lembut. Matahari baru saja lingsir dari cakrawala. Waktu menunjukkan pukul 18.04 malam.
Seorang laki-laki dengan surai kecoklatan terduduk menyandarkan punggungnya pada kursi rotan yang sengaja diletakkan di atas balkon. Pandangannya terfokus pada halaman demi halaman dari buku yang tengah ia baca. Sesekali semilir angin dengan usil membelai umbai-umbai rambutnya, tapi lagaknya tak dipedulikan olehnya. Kebiasaannya membaca sembari bersantai di balkon membuatnya bersahabat dengan angin-angin malam.
Ceklek
Suara pintu yang terbuka membuat kenyamanan laki-laki itu terusik. Karena ia tahu persis siapa yang memutar kenopnya.
"Sudah kuduga, Zeon. Kau belum turun untuk makan malam," ujar sosok yang muncul dari balik pintu.
"Pergi, Zuan! Jangan ganggu aku!" ujar Zeon tanpa memalingkan pandangannya dari buku bacaan.
"Hei, hei! Jahat sekali kau." Zuan menatap Zeon geram. "Aku ke sini untuk mengajakmu makan malam. Aku tak mau, ya, Ny. Micella yang galak itu mengomeliku karena tak membawamu makan malam, malam ini," lanjutnya kesal.
"Aku tak peduli."
Zuan menghela napas, lantas mendudukan kesal dirinya di samping Zeon.
"Hei, siapa yang mengizinkanmu duduk di sini," ujar Zeon dengan nada sarkas, lantas mendorong Zuan untuk menyingkir.
"Aku bukan tamu, dan kau bukan ketua RT. Aku ini adikmu, lebih tepatnya saudara kembarmu." dengan santainya Zuan menyeruput secangkir coklat panas yang belum disentuh Zeon sama sekali.
"Hei!"
Zuan tertawa. "Sepertinya jabatan ketua Dewan OSIS cukup membuatmu depresi, ya," ledeknya sembari sedikit menyipitkan mata.
"Tidak juga."
"Ya, ya." Zuan mengibaskan jemarinya. "Siapa yang tak tertekan jika mendapat kedudukan sebagai ketua OSIS plus ketua angkatan 9 organisasi keamanan rahasia, hah?"
"Sudah, sudah!" Zeon meletakkan paksa buku bacaannya, lantas menyeret Zeon ke luar kamarnya. "Kalau kau mau curhat, besok saja, ya."
"Kau ini jahat, Zeon," gerut Zuan kesal.
Zeon hanya mendengus lantas memaksa Zuan keluar dari kamarnya. Sepasang manik hazelnya menghunus kala Zuan hanya berdiri di depan pintu kamarnya dengan raut yang ... Cukup menyebalkan untuk dilihat.
"Apa?" Zeon mengerutkan kening tanpa mengurangi ketajaman tatapannya.
"Keluar dari sarangmu turun untuk makan malam. Saat ini juga!" Zuan menekan kata terakhir. Ia mencoba membalas tatapan menghunus Zeon, tapi malah terlihat menggelikan.
"Beri aku beberapa saat untuk menyepi."
Blam
Sekali lagi Zeon menghela napasnya. Entah apa yang dipikirkan seorang Zuan, saudara kembarnya itu. Heboh. Mungkin itulah satu kata yang terpikir oleh Zeon saat mendengar nama Zuan.
Terdiam. Manik hazel Zeon lantas terlirik pada sebuah potret dengan bingkai kayu berukir di atas bifet. Ada tiga sosok mungil yang terpotret dalam foto itu. Tiga bayi kembar dengan surai cokelat yang manis. Dua laki-laki dan satu lagi seorang bayi perempuan. Senyuman yang terpoles sempurna pada potret bayi perempuan itu selalu membuat Zeon merindukan sesuatu yang sudah lama hilang.
"Mungkin kau yang akan berisik jika kau masih ada, ya, Zean."
Sepoles senyum mengembang di bibir Zeon. Ia sempat tersenyum kecut mendengar sumpah serapahan Zuan dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess (DALAM PROSES REVISI)
Fantasy(𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) --First Book-- "Sebuah kasta t...