"Kemana saja kau?" Rezel menghadang Vier di lorong asrama kelas satu. Tatapannya terlihat mengintrogasi. "Kau tak tahu, saat kaupergi, para perempuan-perempuan alay itu mulai memenuhi meja kita. Itu mengesalkan!"
"Lalu? Kau iri karena mereka hanya tertarik pada Gray?" Vier melanjutkan langkahnya dan diikuti oleh Rezel.
"Jangan bercanda! Aku sama sekali tak tertarik pada mereka, tahu." Rezel terkikik seakan akan menceritakan kejahilan gilanya lagi. "Dan hal terbaiknya, tanpa sengaja aku membuat hidangan santap malam kita berhambur ke arah mereka." Rezel tak bisa menahan tawanya.
Vier berbalik dengan gerakan kilat, lantas langsung mencengkeram bahu Rezel seketika.
"Rezel," katanya dengan nada tegas. Vier bertanya dengan ekspresi yang mungkin sulit dimengerti Rezel. Terlalu drmatis, mungkin.
"Y-ya."
Vier mencengkeram bahu Rezel lebih kuat. "Bisa kau bantu aku?" tanyanya membuat dahi Rezel makin berkerut dalam.
"Y-ya. T-api ... Bisakah kau lebih tenang?" Rezel tersenyum kecut sembari melepas perlahan cengkeraman Vier. Sepertinya emosinya sedang tidak stabil malam ini. Ah, Rezel tahu, pasti laki-laki itu sedikit tertekan.
"Ya." Vier melepas cengkeramannya. "Tolong besikaplah normal jika ada di dekat Ren. Kau membuat pekerjaanku makin berat." Vier menyipitkan matanya.
Rezel terdiam. Detik berikutnya dahinya berkerut dalam. "Normal yang bagaimana, ya?" tanyanya, "yeah, kau tahu, kan. Aku selalu normal setiap saat." ujar Rezel dengan senyuman angkuh. Dan entah kenapa, dalam pandangan Vier, hidung Rezel seakan memanjang seperti Pinokio. Dia tak pernah normal.
"Yang normal, Rezel," geram Vier. Ia kembali mengguncang bahu sahabatnya agar segera sadar dari khayalannya tentang kenormalan dirinya itu.
"Iya, Vier. Normal yang bagaimana? Normalku banyak, lho. Perlu kau tahu," saut Rezel disela dengan kikikan.
"Kau tak pernah normal," dengus Vier. Membuat Rezel melotot. "Lupakan. Maksudku, normal seperti Rezel. Rezel penurut yang tak banyak bicara," jelas Vier. Tanpa sadar tangannya menepuk-nepuk pelan kepala Rezel seakan tengah berbicara dengan anak kucing.
"Huh?" Rezel mengernyit. "Kalau kau ingin bernostalgia, kapan-kapan saja, ya." lantas menyingkirkan tangan Vier dari kepalanya.
"Rezel, aku serius!"
Rezel hanya bergeming lantas beranjak pergi dari hadapan Vier. Lagaknya ia tak mau menjadi Rezel yang disebut-sebut Vier "normal".
"Aku tak mau jadi seperti itu, Vier. Kau tahu, orang dengan sifat lembek seperti itu akan jadi target penindasan di tempat seperti ini."
"Aku tidak menyuruhmu mengubah sifatmu." Vier gemas sendiri dengan perilaku kekanakan Rezel. Ia kira, laki-laki dengan manik zamrud itu tak pernah dewasa. "Aku hanya memintamu membantuku."
Rezel tetap bergeming. Satu dua langkah terus berderap, semakin menjauh dari Vier. Vier sudah mengeraskan suaranya, tapi laki-laki itu tak lantas mendengarkan.
"Hanya pada Ren, Rezel. Tidak lebih." Rezel masih bergeming. Nada bicara Vier berubah rendah. "Jika saja kau ingin membantuku."
Vier menarik dalam napasnya. Ini semua tidak akan berjalan tanpa hambatan. Tak pernah ia sangka, mengawasi siswa beasiswa lebih sukar dari pada misi kelas S sekali pun. Apa lagi jika yang ia awasi adalah orang dengan perasaan sensitif.
"Kuharap kau berubah pikiran, Rez--" Vier melempar pandangannya ke arah Rezel terakhir terlihat. Kosong. Vier hanya tersenyum kecut sembari menyumpah serapahi si rambut pirang itu dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess (DALAM PROSES REVISI)
Fantasy(𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) --First Book-- "Sebuah kasta t...