Part 3

63 4 1
                                    

[]

Mungkin, ini adalah kelas paling ramai saat ini. Karena, ditambah dengan kehadiran Aca dan juga Ami yang mendatangi kelas Ane untuk mendengarkan curhatan gadis itu. Apalagi suara Ane dan Aca yang terdengar cempreng ditambah dengan kumpulan geng perempuan tukang gosip di kelas 11 IPS 3. Membuat kelas itu makin berisik dan tidak banyak dari siswa yang memilih keluar. Seperti Anta dan Mousa yang langsung keluar saat Aca baru memasuki kelas dengan nada bulenya. Memang tak banyak juga siswa yang masuk ke kelasnya hanya untuk melihat putri Jawa-London di sekolahnya itu.

Ane sendiri hanya menunduk malu sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan saat melihat banyaknya siswa dari kelas lain termasuk senior dan juniornya berada di dalam kelas untuk melihat Aca. “Ane, what wrong? Hei, lo ‘kan yang manggil kita ke sini,” tanya Aca saat melihat Ane yang mulai seperti cacing kepanasan. Karena gadis itu terus menerus bergerak gelisah melihat kelasnya yang menjadi sumpek.

Ane memandang keduanya ragu. “Eum, mending kalian balik deh. Nanti gue ceritain di apar—“

What?! You left in apartement?! Seriously?” tanya Aca tidak percaya. Gadis itu menghela nafas lelah lalu menatap Ane yang sedang merengut kesal. “Ayolah, gue udah di sini. Story fast, please.” Gadis itu memohon dengan kedua telapak tangannya yang disatukan. Ami pun mengikuti apa yang dilakukan Aca. Berharap sahabatnya bercerita sekarang.

Ane menggeleng cepat. “Gak mungkin di sini, terlalu rame. Liat dong,” ucap Ane sambil menyuruh kedua sahabatnya untuk melihat sekeliling kelas yang dipenuhi siswa senior dan juniornya.

Ami mengangguk lemah. “Oke kalo gitu.” Gadis itu beranjak dari duduknya lalu menarik tangan Aca untuk keluar dari kelas. Sebelum Ami benar-benar keluar, gadis itu menoleh ke arah Ane. “Pulang sekolah yah!” teriaknya lalu keluar bersama Aca dan disusul oleh para siswa yang mulai mengikuti Aca keluar kelas.

Beberapa teman sekelas Ane yang tadi memilih keluar karena keadaan kelasnya mendadak panas, padahal kelasnya sudah  terpasang empat AC.

Dii yang baru saja datang langsung berjalan menuju bangkunya dan tepat saat ia duduk. Bel masuk berbunyi. “Alhamdulillah, selamat,” gumam gadis itu lalu menatap Ane yang sedang menaruh kepalanya untuk bersandar pada tembok. “Tadi ada apa?” tanya Dii penasaran.

Ane menoleh ke arah Dii. “Nanti aja pulang sekolah, gue ceritain,” jawab gadis itu lalu kembali bersandar pada tembok.

Baru saja Ane ingin memejamkan matanya, suara Fanya terdengar. “Ne, gue udah siapin naskahnya nih,” ujar gadis berjilbab itu sambil menyodorkan kertas printnan pada Ane.

Ane mulai membukanya dan membacanya dengan cepat. Gadis itu membulatkan matanya saat melihat namanya menjadi tokoh utama dengan Mousa menjadi pasangannya. Dengan pandangan tajam, Ane memandang Fanya yang sedang nyengir kuda. “Kenapa harus gue? ‘Kan ada Dii, dia aja napa,” tolak Ane sambil menunjuk Dii yang masih belum mengerti.

Gadis itu mengambil kertas yang dipegang Ane lalu membacanya. Seketika tawanya pecah saat melihat Ane menjadi bawang putih dengan pangerannya adalah Mousa. Ya ampun, membayangkan wajah datar Mousa melamar Ane, itu tuh adegan paling lucu. Apalagi di sini ada adegan Mousa mencium kening Ane. Heuh, kenapa tidak di bibirnya? Pasti seru. Tunggu, kenapa pikiran Dii jadi mesum seperti ini? Pasti karena kebanyakan nonton drama Korea deh.

“Nggak usah ketawa lo, pendek,” ketus Ane sambil merebut kertas naskah tersebut lalu mengembalikannya kembali pada Fanya. “Gue nggak mau tau. Pokoknya, pemeran utamannya jangan gue!” bantah Ane dengan nada keras.

Mousa yang baru datang pun langsung merebut kertas yang ingin diambil oleh Fanya kembali dan membacanya. Lalu cowok itu mengangguk mengerti dan mengembalikan kertas itu pada Fanya. “Bagus,” kata Mousa datar dan berjalan ke bangkunya untuk duduk.

Ane yang merasakan hal aneh, langsung memandang Mousa dengan kening mengkerut dalam. “Bagus apanya?” tanya gadis itu bingung.

Mousa mendongak. “Ceritanya.”

Ane mendadak jadi idiot dengan wajah cengonya. “Tap-tapi, gue jadi bawang putih dan lo pangerannya,” jelas Ane berusaha menyadarkan Mousa agar cowok itu menolak jalan ceritanya.

Mousa memandang Ane datar—memang selalu begitu. “Terus?”

“Lo gak marah?” tanya Ane pelan. Gadis itu membatin. Marah kek, ma—.

“Nggak.”

--rah. Ya ampun, ada apa dengan cowok batu ini?

Ane menghela nafas jengkel lalu kembali menatap Fanya yang tersenyum kemenangan. “Gimana? Bagus ‘kan?”

Ane memutar matanya, bosan. “Yayaya, yaudah gue terima. Minggu ini kita latihan...” gadis itu memandang Dii yang sedang asik dengan majalah kpopnya. “... di rumah Dii,” tambah gadis itu membuat Dii yang sedang membaca majalah langsung mendongak ke arah Ane.

“Kok gue?” tanya gadis itu bingung.

Rizal tiba-tiba datang. “Di rumah gue aja Ne, gimana?” tanya cowok itu.

Ane mengangguk pelan sambil bergumam. “Bo-leh.” Gadis itu menepuk tangan satu lagi lalu memandang Rizal, Dii, Fanya, Mousa, dan juga Joko yang baru bergabung dengan senyum lebar. “Hari minggu, jam 9 di rumah Rizal, kita latihan,” ucap gadis itu.

Kelima anggota kelompoknya mengangguk paham lalu kembali ke bangku masing-masing karena guru Sosiologi mereka telah datang.

Kepo-persTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang