[]
“Ayo berangkat.”
Ane masih bingung dengan hari ini. Tadi pagi, ia cukup bersyukur karena tidak kepergok membiarkan Mousa menginap di dalam kamarnya oleh tante Alen. Tetapi, kenapa sekarang dia harus menarik lagi ucapan syukur yang sudah ia katakan, hanya karena kedatangan Mousa memintanya untuk berangkat bersama. Padahal, Ane sudah berencana untuk menjauhi cowok itu. Eh, anehnya nih cowok malah ngelunjak dengan mendekati Ane duluan. Cukup aneh memang melihat cowok datar nan dingin macam Mousa tiba-tiba mendekati Ane dengan sikap datarnya tergantikan oleh sikap ekspresifnya.
Terpaksa, Ane menaiki motor besar milik cowok itu lalu memakai helm yang diberikan oleh Mousa. Helm yang Ane kenakan masih sama seperti dulu. Bahkan, sekarang Ane seperti berada dalam lingkar masa lalu di mana dia dan Mosa baru dekat, lalu mereka berteman hingga perasaan lebih dari sekedar teman itu muncul secepat angin laut. Ane cukup senang bisa menikmati udara segar di pukul 6, juga cukup bersyukur karena saat motor Mousa sudah memasuki gerbang sekolah lalu di lapangan parkir sekolah, Ane tidak menemukan motor Iyan. Setidaknya, hari ini ia cukup bebas karena tidak ketahuan oleh Iyan kabar kedekatan Ane dengan Mousa.
“Tumben.” Ane menoleh pada Aca yang baru saja turun dari mobil miliknya. Seperti biasa, gadis itu berpenampilan sempurna dengan rambut sepinggangnya ia ikat menjadi satu. Lalu wajahnya pasti ada polesan bedak tipis ditambah lipbalm yang membuat warna bibir pink pudarnya menjadi cerah juga terlihat sehat.
Gadis itu menyunggingkan senyum geli untuk Ane juga Mousa yang berdiri menjungkal tinggi di belakangnya. “Ekhm, so? Apa yang udah gue lewatin.” Aca bersidekap di hadapan Ane yang masih membuka mulut lebar, sedangkan Mousa kemabali seperti hari-hari sebelumnya. Datar dan dinginnya minta ampun.
Rasanya, ingin sekali Ane memukul wajah triplek itu dengan cangkul.
“Enggak ada,” ucap Ane cepat lalu berjalan meninggalkan Aca yang terkekeh geli. Sedangkan Mousa mengikuti gadis itu hingga akhirnya langkah mereka bisa sejajar.Saat lengan Mousa sudah hampir melingkar di bahu Ane, suatu masalah yang sudah Ane tunggu-tunggu akhirnya datang. Di belakang sana, ada Iyan yang tengah berlari untuk menghampirinya. Ane terpaku di tempat, sedangkan Mousa terlihat santai dengan wajah tripleknya. Juga jangan lupakan tatapan elang yang ia tujukan untuk cowok yang sudah berdiri dua jengkal di hadapan Ane.
“Lo—“
“Nggak kok, jangan berpikiran aneh, dia aja yang dari tadi ngikutin gue,” Ane memotong dengan cepat kalimat yang baru ingin diselesaikan oleh Iyan. Gadis itu segera menarik tangan Iyan untuk berjalan di sampingnya, meninggalkan cowok yang dari tadi malam, mengganggu kehidupannya. “Tadi lo... nggak jemput gue, ‘kan?” tanya Ane penuh harap. Lebih berharap lagi jika abangnya, Aka, tidak mengatakan hal-hal aneh tentang dirinya pada cowok di sampingnya ini.
Bisa Ane lihat melalui ekor matanya, Iyan menggeleng. “Enggak kok, tadi Abang lo nyuruh gue buat langsung ke sekolah. Au dah, kenapa sih Abang lo itu, aneh.” Entah itu pertanyaan atau pernyataan. Ane hanya bisa menanggapinya dengan anggukan samar.
Sampai di depan kelas 11 IPS 3, Ane segera berpamitan pada Iyan sebelum cowok itu menahan pergelangan tangannya saat gadis itu baru saja ingin berbalik. “Gue udah tau semuanya dari Aka, jadi, nggak usah berpura-pura demi gue, Ne,” Iyan berujar dengan nada pelan namun cukup membuat Ane merasa tertohok.
Gadis itu hanya diam saat cengkraman di pergelangan tangannya mengendur. Hingga Iyan sudah menghilang di tikungan menuju tangga ke lantai 2, Ane masih diam di tempatnya.
Saat gadis itu mendongak, pandangan Ane bertemu dengan Mousa dan kalimat itu meluncur begitu saja.
“Kali ini, gue nggak mau deket lagi sama lo, Mou. Seharusnya lo ngerti.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepo-pers
Teen FictionIni bukan kisah tentang seorang kpopers yang suka sama bias, stalkerin bias, lalu nangis bombay gara-gara biasnya pacaran sama istri orang. Bukan, bukan itu. Tapi ini lebih menceritakan tentang seorang kpopers yang harus terjebak dalam lingkar masal...