Part 24

26 3 0
                                    

[]

Seharusnya, suasana di ruang tivi terkesan hangat tanpa rasa bersalah sedikitpun dari salah satu pihak. Seharusnya, Ane masih bisa melihat tatapan bahagia dari tante Alen juga tatapan hangat dari Aka, abangnya. Seharusnya, sekarang Ane sudah berada di atap lalu mendengarkan jawaban yang sudah ia tunggu-tunggu sejak lama dari Mousa. Seharusnya... ah, itu hanya seharusnya, bukan hal yang benar-benar terjadi di waktu sekarang. Ah, lagian, kenapa Mousa harus melakukan hal yang membuat abangnya marah sih?

“Ne, cepet jelasin. Sejak kapan, lo deket lagi sama si Mousa? Jawab Ne! Jangan diem aja, emang lo pikir gue patung?!” mendengar nada membentak dari Aka, Ane tersentak kaget. Bahkan tante Alen yang sejak tadi hanya memperhatikan kedua saudara kembar yang sedang berargumen ini dalam diam, langsung merangkul Ane, memberi ketenangan.

Wanita yang sedang mengandung itu menatap Aka tajam. “Akafian, kamu nggak boleh berkata seperti itu pada Ane, dia itu sensitif, Aka,” tante Alen berkata dengan pandangan tajam ke arah Aka yang tengah menunduk.

Aka menghembuskan nafas kasar, lalu menatap Ane penuh selidik.
“Dengerin Abang lagi, Ne, sejak-kapan-lo-deket-lagi-sama-Mousa?”

Ane mengadah, menatap abangnya takut. “Se-seminggu, yang lalu,” jawab Ane pelan. Gadis itu memainkan jari-jemari tangannya di bawah meja, gadis itu gugup ditatap seperti seorang maling ayam—padahal jelas-jelas Ane sendiri takut pada ayam.

Ane ingin sekali berlari keluar, menemui Mousa, kemudian meminta perlindungan dari cowok itu. Tetapi, itu tidak mungkin ia lakukan di saat abangnya sudah memendam amarah bagaikan api yang menyambar dari satu rumah ke rumah lainnya.

Bahkan, Ane bisa membayangkan gumpalan asap berwarna abu-abu gelap berada di atas kepala Aka dengan wajahnya berwarna merah seperti api yang mengumpul dalam satu tempat sampah. Itu benar-benar menyeramkan.

“Seming—“

“Kalian ngomongin apa sih? Mousa? Mousa siapa?” Tante Alen menatap keduanya bergantian dengan bingung, lalu pandangannya jatuh pada Ane yang kembali menunduk, menatap ujung kaosnya yang sejak tadi ia remas karena takut. “Pacar kamu, Ne?” tanya wanita itu lembut, penuh keibuan.

Ane menggeleng cepat dengan kedua telapak tangan dikibaskan seperti jarum kompas yang kebingungan menunjuk arah mata angin. “Bukan, bukan, di—“

“Dia pernah cium Ane, tepat di bibirnya,” potong Aka cepat dengan nada datar, matanya nampak sayu juga bibirnya membentuk garis lurus. Membuat gadis yang melihat mungkin akan berlari takut karena mengira Aka adalah seorang zombie.

Tante Alen membelalakkan matanya, lalu dia berusaha nampak biasa kemudian menatap Ane lembut, barulah beralih ke Aka kembali. “Jangan terlalu kasar, Ka, namanya juga anak mu—“

“Saya begitu, karena saya tidak ingin adik saya seperti Tante. Melakukan hal yang belum waktunya, saya tidak mau,” potong Aka kembali lalu beranjak berdiri dan berjalan memasuki kamarnya, kemudian membanting pintunya keras, membuat kedua perempuan yang masih terduduk dalam diam langsung tersentak kaget.

Ane menatap tante Alen yang merasa tertohok akibat kalimat dingin dari Aka. Bahkan, Ane masih tidak percaya kakak kembarnya itu akan mengatakan hal sekejam tadi. “Ma-maaf, Tan, Ab—“

“Gak apa-apa,” ucap Tante Alen, menatap Ane dengan senyum tipisnya. Ane tau, hati wanita ini sangat terpukul. Tetapi, jika Ane membela tante Alen, sama saja ia membela sesuatu yang salah.

Makanya, Ane hanya bisa meminta maaf tanpa menyalahkan kalimat yang diluncurkan oleh Aka. Karena semuanya memang benar adanya.

***

Kepo-persTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang