Part 28

32 2 0
                                    

[]

“Kamu siapa?!”

Mousa memperhatikan Ane dari bawah hingga atas. Sandal rumah sakit, baju tidur untuk pasien yang ia kenakan, juga kepalanya yang dililitkan perban putih. Terdapat bercak darah di jidatnya. Tapi, kenapa gadis ini malah seperti orang lupa ingatan?

“Heh, cewek bodoh, gue itu pacar lo,” ucap Mousa dengan nada ketus. Mousa jadi tertawa dalam hati karena menyebut Ane adalah pacarnya.

Ane mengerutkan keningnya. “Pacar? Tapi, aku nggak punya pacar. Oh iya, kamu liat Fero nggak? Tadi dia sama ak—“

“Fero?!” tanya Mousa dengan mata terbelalak kaget. Cowok itu meringis saat gadis di hadapannya ini malah memukul kepalanya keras. Mousa melotot, “Heh! Lo jadi cewek kasar amat!”

“Lagian, kamu juga sih, motong kalimat yang mau aku jelasin. Tapi, kamu kenal Fero? Muhammad Alfero, kamu kenal?” tanya Ane dengan pandangan penuh harap. Mousa sangat suka dengan pandangan itu, pandangan yang selalu membuatnya rindu akan Ane yang terlalu banyak ingin tau tentangnya.

“Tau, dia sepupu tiri gue, kenapa?” Mousa balik bertanya dengan alis naik sebelah.

Ane mengerucutkan bibirnya seiring dengan tangisnya yang pecah. “Kata Nenek, Fitri sama Rama, Fero meninggal.”

***

Di ruangan dengan nuansa putih dan satu ranjang yang diduduki oleh seorang perempuan yang selama ini membuat Mousa gelisah, terasa sangat senyap. Pendingin ruangan masih berfungsi baik, namun bagi Mousa ruangan ini sangat panas. Sejak tadi ia menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan gadis yang sedang mengayunkan kakinya tanpa peduli nasihat dari neneknya. Bahkan kakak kembarnya saja ia tidak pedulikan, toh ternyata gadis itu lupa ingatan. Sangat menyebalkan mengetahui seseorang yang kamu cintai ternyata melupakanmu meski itu hanya sementara.

“Iya Nekk, ya ampunn,” balas gadis itu lalu memilih berbaring dan meringkuk seperti bayi. Ia bahkan tidak memperdulikan peringatan dari neneknya sebelum wanita lanjut usia itu memilih duduk di sofa yang tersedia di ruangan rawat tersebut.
Aka menghela napas, lalu duduk di kursi samping ranjang yang tadi diduduki oleh neneknya. Ia mencolek bahu gadis yang sedang meringkuk supaya gadis itu menoleh padanya.

Ketika gadis itu menoleh, Aka langsung menarik hidung gadis itu agar bangkit dari tidurnya. “Lo ini! Kenapa harus bikin gue merasa bersalah, hah?! Jangan bikin rasa bersalah itu menghantui gue, Ne!” kata Aka terdengar kesal juga sifat protektivenya mulai keluar. Ia menghembuskan napasnya kasar, lalu memandang adiknya itu sendu sebelum cowok itu menarik gadis itu ke dalam pelukannya. “Pokoknya besok lo kembali sekolah di Jakarta. Tapi sekolahnya di sekolah gue,” lanjutnya.

Mousa menghela napas lelah. Ia sudah tau bahwa Aka akan memindahkan Ane ke sekolah cowok itu, bukan ke sekolah lamanya.

Ketika pelukan itu terlepas, gadis itu, Ane, meluncurkan pertanyaan untuk ke dua kalinya pada Aka yang memandangnya dengan senyum lebar. “Kamu siapa sih? Kok sok akrab? Emang kita pacaran yah?” Ia tiba-tiba menoleh ke arah Mousa yang memandangnya datar. “Bukannya aku pacar cowok itu?” Tanya Ane sambil menunjuk ke arah Mousa yang langsung terperanjat kaget. Matanya sudah melotot seperti ingin keluar saat itu juga.

“Hah?” Aka memandang Mousa juga Ane bergantian, lalu cowok itu memukul tempurung kepala Ane keras. “Dasar lo yah! Gue itu Abang lo! Kembaran lo, ya Allah, gue capek,” balas Aka lelah lalu melirik Mousa tajam. “Heh! Lo juga yah, Sa, pake ngehasut adek gue segala!” katanya kesal ke arah Mousa yang terpaksa nyengir walau dalam hati ia ngedumel.

“Iya-iya.” Cowok itu bangkit dan berjalan ke arah ranjang Ane, mengusap kepala gadis itu pelan lalu berjalan keluar ruangan rawat tersebut. Ia duduk di kursi depan ruangan itu dan termenung.

Kepo-persTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang