Part 8

29 1 0
                                    

[]

Hari Sabtu seharusnya menjadi hari yang paling Ane sukai. Selain bisa bermain bersama orangtuanya yang super sibuk dari hari Senin sampai Jum’at. Gadis itu juga akan bahagia saat orangtuanya mengajak ia dan juga kembarannya ke Bogor untuk menemui kakek dan neneknya. Tapi, ini pertama kalinya Ane merasa bahwa hari Sabtu itu adalah hari paling mencekam. Suasana rumah yang seharusnya hangat menjadi sepi karena memang rumahnya sudah sepi. Walau barang-barang masih tertinggal di sini.

Kemarin, sepulang sekolah Ane memutuskan untuk tidur di kamar lamanya dan tidak pulang ke apartemen. Gadis itu ingin bernostalgia—oh salah, tapi menghapus masa lalunya yang buruk. Pertama, ia masuk ke dalam kamar kembarannya yang masih sama. Cat putih yang bersih, kamar tidur di pojok dengan meja belajar di sampingnya. Lalu hordeng biru tua yang menutupi pintu kaca balkon. Masih sama dan terlihat seperti baru. Gadis itu duduk di tepi ranjang yang rapih. Padahal, biasanya ranjang ini akan sangat berantakan dengan baju-baju Aka. Terkadang, dalamannya pun berantakan di atas ranjang atau di lantai. Ane terkekeh mengingat bi Nani selalu ngedumel karena kamar kakaknya yang seperti kandang kambing. Gadis itu beralih ke meja belajar kakaknya yang bersih dan di pojok yang memang dibiarkan melompong sedikit seperti itu oleh kakaknya. Alasannya, agar ia bisa menyimpan papan skatebord milik cowok itu.

Gadis itu tersenyum miris karena kamar kakaknya menjadi kosong melompong tidak berpenghuni. Tidak ada tempelan poster artis barat yang ia sendiri tidak tau, lalu baju berantakan, skatebord di celah antara meja belajar juga tembok. Dan juga sebuah ring di belakang pintu lalu bola basket di samping pintu. Menambah kesan cowok untuk ukuran kakaknya. Dan memang kakaknya itu cowok.

Ane segera keluar dari kamar kakaknya menuju kamar orang tuanya yang berada di lantai satu. Saat ia memasuki kamar tersebut, ia tertohok karena foto besar keluarganya yang memang dipasang di dinding kamar orangtuanya sudah terbelah dua. Di foto itu, Ane berdiri di samping papanya sedangkan Aka di samping mamanya. Seharusnya foto itu masih sempurna dan Ane bisa membakarnya. Tapi ternyata, foto itu sudah hancur duluan sebelum ia sempat membakarnya. Membakar masa lalu yang tidak ingin ia ingat.

Gadis itu segera keluar dari kamar orang tuanya lalu menemui bi Nani yang sedang menyiapkan sarapan untuknya. Memang, selama rumah ini belum ditempati oleh pemilik barunya. Bi Nani yang bertugas menjaga rumah ini.

“Pagi Bi,” sapa Ane lalu duduk di bangku dengan kedua tangan di kepal di atas meja. Gadis itu sangat penasaran dengan seseorang yang merobek foto itu.

Bi Nani yang emang rada bolot, saat menoleh ke belakang dan menemukan Ane yang sudah duduk menunggu makanan yang ia buat lantas tersenyum senang pada anak majikannya itu. “Pagi Non, udah lama di situ?” tanya bi Nani sambil menaruh sepiring penuh nasi goreng seafood. Ane mengangguk sopan lalu memakan makanannya dalam diam.
Gadis itu sebenarnya ingin bertanya, tapi entah kenapa kalimat itu seakan tertahan di tenggorokannya. Sambil menarik nafas lalu membuangnya perlahan sampai beberapa kali, gadis itu akhirnya berani untuk menatap bi Nani yang sedang menatapnya aneh

“Non kenapa? Kok kayak lagi pemanasan senam,” tanya bi Nani heran lalu menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Ane tersenyum kecil lalu menjawab pelan. “Nggak apa-apa, Bi.” Gadis itu kembali memikirkan kata apa yang tepat untuk ditanyakan pada bi Nani. “Bi, foto yang di kamar Mama sama Papa, siapa yang robek?” tanya Ane pelan.

Bi Nani langsung berhenti menyendokkan nasi ke mulutnya dan menatap majikannya itu takut. “I-itu Non, yang ngerobek... Nyonya Non,” jawab bi Nani dengan nada sama pelannya. Bahkan terdengar berbisik.

Ane yang masih tidak percaya, lantas kembali bertanya. “Mama? Kok bisa? Kenapa coba.” Gadis itu mendelik jengkel lalu segera beranjak dari duduknya dan berniat untuk menemui mamanya yang tinggal sementara di rumah neneknya yang di Bogor.

Kepo-persTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang