EPILOG

310 11 2
                                    

KAMAR Sophia yang bernuansa hijau daun ini terlihat begitu rapi. Terlihat ada dua pot bunga berukuran mini di sudut meja belajarnya. Salah satu pot berisi mawar kuning, sedangkan satunya lagi berisi mawar merah. Tapi ada yang aneh dengan pot berisi mawar kuning itu. Ada kertas di sampingnya, dan di atas kertas itu ada sebuah kalung berwarna putih bersih. Kertas itu seperti sepucuk surat dari orang yang memberikannya mawar berwarna kuning itu.

Di kertas itu tertulis:

Hai, Sophia!

Gue harap lo seneng sama mawar gue. Kalo lo mau tau alasannya, mungkin karena mawar kuning itu melambangkan persahabatan. Gue kayak anak kecil, ya? Sok-sok bersahabat segala. Tapi apa lagi yang bisa gue lakuin buat lo? Jadi pacar? Nggak mungkin, ya?

Ada banyak hal yang gue pengin lo tau. Tapi gue nggak bisa ngasih tau secara lisan, dan tulisan inilah jadinya.

Mau tau rahasia nggak?

Awal kita ketemu, kesan gue ke elo biasa aja. Gue cukup kaget karena nama lo sama kayak gebetan gue—yang nolak gue, gue yakin elo tau dia siapa. Karena nama kalian sama itulah, gue mencoba membuka diri gue ke elo. Berjalannya waktu, gue takut, Sophia. Takut kalo sewaktu-waktu gue nggak sadar jadiin lo pelampiasan dari Sofia Maulida, karena saat kita ketemu di perpustakaan gue udah tau kalo lo suka sama gue, cuma tebakan doang sih. Ternyata bener, ya?

Gue berpikir untuk biasa aja sama lo. Tapi ternyata? Lo berbeda dari dia. Sangat bertolak belakang. Dari situlah, gue suka sama lo. Tapi beberapa hari setelah itu, gue berpikir untuk mundur, karena gue ngerasa nggak percaya diri, Sophia. Kenapa? Lo inget pesta Ain? Disaat itulah, gue sadar kalo perasaan lo memudar. Cahaya mata yang biasanya lo lempar ke gue, beralih ke Titan.

Hari itu, lo mulai nggak memperhatikan gue. Tapi hari itu juga gantian gue yang memperhatikan lo.

Gue tau kalo Titan selalu gangguin lo. Gue pikir perasaan lo nggak akan berpaling. Gue terlalu naif.

Seandainya gue memperhatikan lo lebih dulu, lebih dekat sama lo, menarik tangan lo saat lo digangguin Titan di kantin, ngajak lo semeja sama gue di kantin, atau ngejemput lo saat pengin ke perpustakaan. Kalo gue ngelakuin itu semua, mungkin sekarang kita udah jadian. Gue nyesel cuma duduk diam ngeliat lo digangguin Titan. Gue nyesel, kenapa gue nggak sadar hal itu yang bikin kalian jadi deket?

Karena itu, gue cuma bisa ngasih ini, Sophia. Maaf atas keegoisan gue, kenaifan gue, dan segala hal yang gue lakuin ke elo. Gue juga minta maaf pernah bikin lo nangis—tebakan gue aja sih, semoga nggak bener.

Untuk kesekian kalinya, Sophia, gue pengin lo tau perasaan gue. Perasaan sayang gue ke elo.

-Haikal Ardhani.

Begitulah tulisan tangan sang pemberi mawar kuning. Ditulis dengan rapi walau tulisannya mungkin tidak terlalu bagus. Kalung berwarna putih di atasnya semakin mengkilap saat ada seberkas cahaya masuk melalui ventilasi kamar.

Di atas meja belajar itu, selain ada dua pot bunga berukuran mini, ada dua lembar foto.

Foto pertama. Seorang cowok dengan headphone di telinganya. Foto itu diambil dari samping, hingga wajah cowok itu sedikit tampak.

Foto kedua. Seorang cowok dengan body yang sama. Dengan jaket berwarna hitam, memakai helm dan sedang menaiki motor sport-nya. Cowok itu membelakangi kamera.

Siapapun tahu kalau cowok itu adalah Titan Adhyasta.

Sapuan angin menerpa gorden yang menggantung di jendela kamar Sophia. Mawar kuning dan mawar merah itu bergoyang pelan. Dua lembar foto tadi terbalik ke belakang. Menampakkan alas berwarna putih dengan sedikit tulisan tangan.

MLS (1) - Phytagoras LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang