part 7

324 22 0
                                    

"Bobby, cepetan dong. Nanti aku telat" teriaknya dari bawah yang bisa ku dengar sangat jelas dari kamarku yang berada dilantai 2 ini.

"Iya Shania. Sabar dong" teriakku menuruni tangga. Menghampirinya yang sudah memasang wajah kesal dan siap memarahi ku pasti. Tapi aku hanya nyengir tak berdosa. Belum sempat dia memarahiku segera kutarik tangannya menuju pintu keluar.

"Marahnya nanti aja ya ? Nanti kita telat" ucapku saat dia telah membuka mulut nya untuk marah marah.

"Siapa coba yang bikin telat. Cowok kok lama banget dandannya. Biar apa coba ?" omelnya padaku.

"Ya biar ganteng lah. Biar apalagi emang nya ?" Jawabku sambil mengunci pintu. Sedangkan Shania masih dengan wajah di tekuk berada di belakangku dan menaruh tangannya diatas dada.

"Biar banyak yang ngelirik gitu ?" Tanyanya sewot.

"Iya dong. Buat tebar pesona" ucapku sombong .

"Oh gitu ya. Oke bisa diterima " ucapnya semakin sewot. Aku pun tak menghiraukan nya. Segera mengajaknya menuju mobilku, membukakan pintu dan kemudian masuk dan duduk manis. Tak mau terlambatnya aku pun segera melajukan mobilku.

Hening, bisa kusadari sedari tadi hanya hening. Biasanya anak ini akan terus mengoceh sepanjang jalan. Atau bermain dengan kamera yang ada ditangannya itu. Tapi sedari tadi dia hanya menatap keluar jendela. Kunyalakan radio dalam mobil tapi nyatanya tak membuat nya berkutik. Biasanya dia akan aktif memutar segala gelombang untuk mendapatkan list lagu lagu favoritnya.

"Kok diem ?" Tanyaku penasaran

"Hmmm" jawabnya begitu saja.

"Kamu kenapa ? Sakit ?" Tanyaku lagi.

"Gak apa apa" jawabnya singkat

"Serius ? kata temenku kalo cewek bilang gak apa apa itu berarti dia kenapa kenapa."

"Terserah" jawabnya

"Terus kata temenku, kalo cewek bilang terserah berarti sebenarnya dia ingin sesuatu"

"Sok tahu temenmu"

"Mungkin. Soalnya dia ngakunya gak pernah kayak gitu. Tapi sejak berapa menit yang lalu aku jadi percaya sama dia. Soalnya ternyata dia juga kayak gitu" ucapku sambil meliriknya sekilas karena aku masih mengemudi.

"Hah ? Kok ?" Ucapnya bingung.

"Kenapa ?" Tanyaku santai

"Kayaknya aku pernah dengar kata kata itu deh. Kamu nyindir ?" Ucapnya datar.

"Hehe, sadar ternyata" ucapku dengan cengengesan.

"Dasar. Itukan dulu, sekarang beda. "

"Beda gimana ?"

"Ya beda lah Bob. Kok kamu gak ngerti sih ?" Ucapnya tambah cemberut.

"Apanya ? Serius aku gak paham. Aku salah sama kamu emangnya ?"

"Kamu pinter tapi kenapa ..? Argh.. terserah deh" ucapnya kesal. Akupun hanya diam mencoba mengingat setiap apa yang kulakukan tadi .


Hingga aku sadar bahwa status kita bukan lagi sahabat. Meskinya aku lebih menghargai nya sebagai seorang kekasih.

"Shan.." panggilku

"Hmmm" jawabnya yang tak mau melihatku. Dia lebih fokus pada kamera yang ada ditangannya kirinya yang sibuk mengabadikan lalu lalang keramaian diluar mobil. Tanpa aba aba aku langsung menggenggam tangan kanannya yang ditaruh di atas pangkuannya sedari tadi. kugenggam erat layaknya anak kecil yang takut kehilangan apa yang dia miliki. Semula Shania sedikit memberontak, namun dengan cepat kekecup punggung tangannya.

Lensa, Senja, Dan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang