Petikan gitar terdengar merdu. Mengiringi setiap syair lagu yang dia nyanyikan. Dari rumah pohon yang pernah kubuat untuknya. Dia bersandar pada bahu kekar ku. Menutup mata, menikmati sejuknya sang angin sepoi-sepoi yang menerpa tiap helai rambutnya.
*****
Kemarin kami baru saja sampai dari jalan jalan. Menikmati masa liburan di kota orang. Berjalan jalan dan tentunya menemani dia berbelanja. Menikmati suasana kota tanpa hiruk-pikuk kemacetan ibukota, kota yang tak pernah tidur. Hanya ada saling sapa dari mereka yang tersenyum ramah.
Kita temukan Orang tua yang menjual jajanan pasar tanpa lelah. Berharap ketika pulang nanti dia mampu membeli sesuap nasi. Untuk sang cucu yang masih mengenakan merah putih. Dia yang berhati malaikat melakukan apa yang perlu dia lakukan. Sang bidadariku memberi lembaran kertas yang berharga untuk sang wanita tua. Saat itu aku sadar, sejak kecil itu yang selalu dia lakukan. Wanitaku berhati malaikat.
Setiap perjalanan yang kita tempuh. mengingat kan ku akan waktu Silam. Putih abu abu penuh ceria. Walau duka akan rasa cinta yang terpendam menyelimuti.
Dikedai yang sama, saat rintik hujan menerpa. Sama seperti kali ini. Diiringi lantunan musik dengan bahasa Jawa yang kuketahui arti dari sepenggal liriknya. Entah kebetulan atau memang lagu ini tak pernah diganti. Lagu yang sama kala ku jadi pecundang kini terputar kembali. Bagai roll film yang terulang. Bagai alur cerita flashback yang dipikirkan sang pemeran utama.
Saben wayah lingsir wengi
Mripat iki ora biso turu
Tansah kelingan sliramu
Wong ayu kang dadi pepujankuLagu ini. Disaat itu lah aku sadar aku telah lama jatuh cinta padanya. Dikali kedua lagu itu terputar membuatku merasakan keberuntungan. Aku bersyukur sepenggal arti lirik lagu itu menyadarkan ku apa itu jatuh cinta. Aku sadar akan cinta yang telah lama coba kusingkirkan. Tapi ternyata semua itu hanya membuatku merasakan sebuah kesengsaraan.
Secangkir kopi dan teh hangat dimeja. Dua piring nasi berlauk sederhana. Tak ada yang berubah dari kedai kecil ini. Masih sama seperti pertama kali berkunjung. Namun sepertinya kedai ini lebih ramai daripada dulu.
Sambil menyesap kopi yang tak lagi panas. Mengamati anak anak kecil berlalu lalang dengan sepeda kecilnya.Kota istemewa dengan sejuta budaya. Terakhir kukesini saat liburan keluarga ku dengan keluarganya. Dan entah mengapa terbesit dibenak kami untuk mengulangi apa yang pernah kita lalui. Namun kali ini bukan sebagai teman bermain. Melainkan teman hidup.
Berjalan kaki menaiki setiap tingkat pada Borobudur. Naik dan masuk ke dalam candi Prambanan. Bersenang senang dipantai Selatan yang mempesona. Makan di angkringan. Seperti nya tak ada yang terlewat. Dan selama di kota ini tak pernah luntur sedikitpun senyumnya. Manis, sungguh manis saat kulihat itu. Apalagi saat dia mulai mengelilingi Malioboro. Berbelanja sesuai hobby nya.
Terbesit dalam benakku. Seandainya rasa takut ku untuk mengatakan perasaan yang sejujurnya tak pernah ku lawan. Mampukah aku menikmati kenikmatan dunia yang sebentar ini. Mampukah aku menggenggam jemari ini tanpa rasa takut. Dulu aku hanya mampu merangkul pundaknya, tapi kini ku mampu memeluknya. Aku bersyukur, bersyukur pada sang kuasa yang telah sadarkanku akan rasa yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lensa, Senja, Dan Kita
FanfictionSelama nafasku masih berdesah Dan jantungku terus memanggil indah namamu kan ku jaga segenap cinta yang ada percayalah satu cintaku untukmu