Ditangan ku telah terdapat kamera yang pernah ku berikan padanya saat ulang tahun nya yang ke 17. Kutimang timang lagi, membuka dan menutupnya kembali. Sesekali kulanjutkan tulisan ku yang telah ku buat sejak beberapa menit yang lalu. Ditemani secangkir kopi hitam dan musik yang masih berputar aku mencoba menulis apa yang selama ini kurasakan. Aku bukan menulis diary, aku tengah menulis diatas secarik kertas yang nantinya kan ku selipkan pada benda yang penting dan bermakna.
Pukul 00.00 tepat, dan aku sudah berdiri didepan kamar yang ada didekat tangga lantai bawah. Kubuka pelan pintu yang memang tak tertutup untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang tidak diinginkan. Seorang wanita tengah terlelap diatas nakas tempat tidur. Kulangkahkan kakiku perlahan dan berhenti tepat disamping nakas.
Kuusap penuh sayang rambut hitam pekatnya. Kuusap wajah halusnya. Kusimpan sebuah kotak di atas meja. Kutumpukan kakiku pada lutut ku untuk mensejajarkan tubuhku dengan tinggi nakas. Kuraih korek api yang sudah kusimpan dalam saku. Kuhidupkan sebuah lilin yang menancap diatas cream cake red palvet yang sudah kupesankan sedari sore tadi. Kualihkan kembali pandangan ku pada gadis yang masih menutup matanya.
"Sayang, buka matanya dulu yuk" ucapku tepat ditelinganya. Dia menggeliat dan mengucek ngucek matanya. Beberapa kali dia mengerjapkan matanya dan berakhir menguap.
"Happy Birthday to you... Happy Birthday to you... happy Birthday... Happy Birthday caniya..." aku bernyanyi nyanyi Dengan tangan yang memegang kue berlilin angka .
"Happy Birthday honey, my Bu Boss Shania" ucapku penuh senyum. Shania mencoba duduk dan bersandar pada sandaran nakas.
"Tiup lilinnya gih, jangan lupa make a wish" ucapku. Ditutupnya lilin yang ada diatas kue. Kucium lembut dahinya cukup lama. Sambil menyelip kan doa untuk orang yang kusayang ini.
*****
Pagi yang cerah, dan mata ini masih berat untuk ku buka. Semalam aku tidur cukup malam. Setelah memberi surprise ternyata Om Natha tak mau kalah. Beliau juga sudah menyiapkan surprise untuk putri semata wayangnya. Sehingga aku juga ikut merayakan nya bersama keluarga Shania. Disaat seperti itu lah aku bisa kembali melihat senyumnya. Jika dulu menjadi hal yang mudah dan sering kutemui senyum cerianya. Namun sekarang menjadi hal yang langka dan sangat ku syukuri disaat senyumnya terukir jelas di wajahnya.
Hingga pukul 01.00 Shania dan Mama nya memilih mengistirahatkan tubuh. Aku dan Om Natha memilih duduk di depan tv. Disuguhi pertandingan bola, kami berdua menikmati tontonan nya. Dan Om Natha akhirnya memecah keheningan antara kami.
"Makasih nak" ucapnya pelan namun jelas bisa kudengar.
" Makasih ?" Tanyaku tak mengerti arah pembicaraan beliau.
"Makasih kamu masih mau disamping Shania" ucapnya
"Itu sudah kewajiban saya pah. Saya mencintai Shania dan sudah kewajiban saya untuk selalu berada disampingnya" ucapku mantap.
"Tapi nak, papah tahu jika kamu juga punya hak bahagia. Punya hak untuk menjalani hidup sama seperti Pria - pria seumur mu diluar sana" ucapnya serius.
"Aku juga tahu kok pah. Tapi bukannya Papa juga yang bilang kalo yang Shania butuhkan kali ini hanya keajaiban. Bukankah Papa juga yang bilang jika aku memang menyayangi Shania maka aku boleh bertahan disamping Shania dan ngebantu papa wujudkan keajaiban itu? Papa gak perlu khawatir akan kebahagiaan ku. Karena apa yang ku lakuin sekarang, itu juga karena ku ingin bahagia pa. Dan kebahagiaan ku adalah Shania" ucapku menatap beliau yang mulai berkaca kaca. Seberapa kuat Om Natha, disaat beliau membicarakan putrinya. Dia selalu meneteskan air mata nya. Sungguh, beliau sangat menyayangi putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lensa, Senja, Dan Kita
FanficSelama nafasku masih berdesah Dan jantungku terus memanggil indah namamu kan ku jaga segenap cinta yang ada percayalah satu cintaku untukmu