part 19

198 21 0
                                    

Air mata ini tak mau berhenti. Kusandarkan tubuhku pada dinginnya tembok rumah sakit. Kini yang kurasakan hanya rasa sakit. Aku sungguh tak sanggup, harus kah aku melihat orang kucintai harus seperti ini.

Om Natha hanya bisa memandang ku.  aku bisa merasakan seorang ayah yang sangat terpukul.

"Tenanglah Bob" ucapnya menenangkan ku yang masih meratapi nasib ini. Terus terputar ucapan Om Natha . Rasanya aku ingin menganggantikan Dia jika itu bisa . Aku sangat mencintainya.





*Flashback*

"Gimana keadaan shania pa ?" Tanyaku saat Om Natha berjalan keluar ruang dokter dan menatapku. Wajanhya memerah, sungguh tampak berantakan. Beliau mendekatiku, menepuk pelan pundakku. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dihembuskan nya dengan kasar.

"Shan.. Shania. Kondisinya menurun" ucapnya om Natha mencoba menahan tangisnya.

"Maksudnya ?" Tanyaku belum mengerti.

"Shania harus dirawat disini. Dia harus melakukan fisioterapi. Kakinya..." ucap Om Natha berhenti. Mengusap kasar air mata yang tanpa sadar telah menetes. "Kakinya Mulai menunjukkan penurunan fungsi" ucap beliau menutup mulutnya. Tanpa sadar pipi ini kembali basah. Tubuh ini melemas. Kepala ini terasa berat. Kududuk terjatuh tak mampu berdiri. Aku sakit, sungguh sakit mendengar kenyataan ini.


*Flashback off*















****
Ku buka pintu kamar rawat inap perlahan. Kuintip dia yang tengah terlelap. Ku berjalan mendekati ranjang. Ku ambil kursi disamping kanannya, menyeret mendekati tidurnya. Kupegang erat jemari nya, kuusap lembut punggung tangan halusnya. Ku jatuhkan bibirku dipunggung tangan yang telah kujanjikan untuk selalu kugenggam.

Setetes air membasahi punggung tangan nya. Air itu turun dari mataku yang terus terpejam, terpendam dan menunduk menyimpan tangannya . Seolah aku tak ingin melepaskan nya, walaupun hanya sekejap saja.

Kutatap wajah pucat pasi, yang dulu selalu nampak ceria. Tak pernah ada raut sedih atau marah. Wajah yang selalu nampak ramah dan menawan. Namun kini, yang kulihat hanya raut kelelahan, raut kesakitan, pucat pasi dan bekas air mata yang membuat
matanya sembab. Kuusap rambut hitam sebahunya.


Kurasakan sebuah pergerakan perlahan dari tangan yang sedari tadi tak kulepas. Ku buka mataku dan menatap kearah wanita yang telah terbangun .

"Sudah bangun ? Kupanggilkan dokter dulu" ucapku segera beranjak namun terlebih dulu aku ditahan olehnya.

"Tunggu" ucapnya

"Iya Shan?" Jawabku menatap nya.

"Tidak jadi." Ucapnya memalingkan wajahnya dariku. Akupun hanya mengulum senyum dan kembali beranjak untuk memanggil dokter.






******

Om Natha dan Tante sudah berdiri disamping ranjang Shania. Shania sudah duduk diatas tempat tidurnya dan mendengarkan setiap instruksi dari sang dokter. Aku yang bersandar pada jendela ruangan hanya mengamati mereka. Sesekali memandang keluar dimana tepat dibawah sana terdapat taman.

Setelah sekian lama dokter meninggalkan ruangan ini. Berpamitan pergi untuk mengurusi pasien lain. Wajah Shania masih sama, datar tanpa ekspresi. Padahal dulu bisa kutemukan sejuta ekspresi yang selalu jungkir balikan hatiku. Yang selalu buat ku tersenyum saat memandangnya. Tapi kini semua sirna menjadi Shania yang tak pernah tersenyum.

"Shania mau makan apa ?" Tanya Tante Natha.

"Terserah ma" ucap Shania lemas. Tante Natha hanya tersenyum dan merangkul Putri semata wayangnya.

Lensa, Senja, Dan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang