Sebelum mengambil tasnya di samping meja, Arnes terlebih dulu mengambil ponsel yang baterainya sudah terisi penuh sejak semalaman dicas.
Keningnya tertaut saat melihat tulisan 3 missed call from Bella. Ia mengangkat bahu satu kali, meraih tasnya, dan melangkah keluar kamar.
Di bawah, Arnes melihat adiknya dan kedua orang tuanya masih sarapan bersama. Arnes sudah sarapan duluan tadi.
"Cie, Abang ganteng." puji Agnes pada Arnes diiringi kekehan kecil.
"Ya lah, abangnya siapa dulu." Arnes tersenyum bangga menaik turunkan alisnya.
Agnes mencibir, "Heleh, kalo dipuji langsung gitu deh. Bilang makasih kek."
Sesaat, Arnes teringat Alana yang berucap terima kasih saat dipuji oleh Jaja. "Makasih, Agnes." balasnya dengan nada sok manis.
Sementara Agnes hanya terkekeh lalu melanjutkan kembali sarapannya.
"Arnes," panggil Daniel sehabis meneguk minumnya.
Arnes menghela napas, ia menebak apa yang akan dibicarakan oleh Daniel.
"Kamu sama Bella gimana?"
Benar, kan? Selalu saja Bella, Bella, dan Bella yang dibicarakan oleh ayahnya itu.
Sejenak Arnes menatap Winna yang juga menatapnya lalu menjawab. "Nggak gimana-gimana, Pa. Arnes mau berangkat."
Arnes mencium pipi kanan dan kiri kedua orangtuanya dan mengelus pucuk kepala adiknya. Lalu melangkah menuju garasi mobil di samping rumahnya.
Winna menatap Daniel sambil menggeleng, tanda ia tidak setuju. Daniel menyadari arti tatapan Winna.
"Dia akan baik-baik aja sama Bella."
Winna meletakkan sendoknya di atas piring, menatap Daniel. "Dan Mama yakin, Arnes akan lebih baik-baik aja sama perempuan yang dia pilih sendiri, Pa."
"Ma, bukan gitu. Ini juga demi perusahaan kita."
"Bagi Mama, kebahagiaan Arnes lebih penting dari perusahaan. Nggak tau kalau Papa." Winna berdiri dan mengajak Agnes ikut dengannya.
Daniel menggeleng pelan menatap istrinya itu. Sebenarnya, perkataan Winna tadi ada benarnya juga. Tidak selamanya ia harus mengutamakan perusahaan.
***
"Arnes!"
Arnes membuang napas dan memutar bola matanya mendengar suara yang mengganggu itu. Tanpa berhenti atau pun menoleh, Arnes lanjut berjalan.
"Nes! Kok gue hubungin gak diangkat sih?" protes Bella saat berhasil menyamakan langkahnya dengan Arnes.
Arnes tak menanggapi.
"Ck. Dengerin kek kalo gue ngomong."
"Arnes!"
Bella menahan lengan Arnes tepat di depan pintu kelas 11-2, bersamaan dengan Alana yang menjejakkan kakinya hendak keluar kelas.
Ketiganya terdiam.
Tersadar, Arnes menyentak tangan Bella yang ada di lengannya, sambil menatapnya kesal. Tatapan Arnes seketika berubah lembut saat bertemu dengan mata indah Alana yang menatapnya datar namun terlihat percikan kecemburuan di sana.
"Hai, Alana." sapa Bella canggung dan sok ramah.
Alana membalas dengan senyuman tipis dan anggukan. Ia bukan tipikal perempuan seperti yang di sinetron-sinetron yang mungkin akan berlari meninggalkan pasangannya, berharap untuk dikejar lalu bersikap jual mahal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Like Yours
Teen FictionAlana, murid baru dengan perawakan yang kalem, penyuka musik dan puisi, juga mampu menarik hati Arnes. Arnes merasa yakin untuk memberikan hatinya lagi kepada seorang gadis. Menjadikan Alana bintang di hidupnya. Tapi ketika mereka berpacaran, ada s...